top of page
CoverI_color.JPG

Berani Bicara,

Kuatkan Sabuk Pengaman! 

#unfree_journalist

Ilustrasi berkas pembunuhan jurnalis Bernas Udin | foto/Pradinia

27 Maret 2021. Krembangan. Surabaya.

 

Dua jam sudah Nurhadi duduk disekap di ruang belakang Gedung Graha Samudra Bumimoro. Bibirnya pecah-pecah, tangannya lebam akibat menahan diri dari pukulan belasan orang dengan pakaian beragam, mulai dari jas berdasi, batik, hingga seragam safari gelap. Ulu hatinya ngilu.

Kepalanya sempat dimasukkan ke tas kresek merah. Seseorang datang dan menaruh gulungan kabel di pangkuan Nurhadi. Seorang tidak dikenal lain kemudian berkata, “Udah, disetrum saja”. Tidak lama, kresek dibuka. Ia kembali diancam sambil dijambak, “Mau UGD atau kuburan?”. Berikutnya, pukulan kembali datang.

Malam ini bukan malam yang menguntungkan untuk Nurhadi. Nurhadi adalah kontributor media Tempo untuk wilayah Surabaya, Jawa Timur, sejak tahun 2015. Penyamarannya terungkap saat menyusup masuk ke pesta pernikahan anak mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan, Angin Prayitno Aji, dengan anak Kombes Pol Ahmad Yani. Tujuannya adalah mencegat (doorstop) Angin dan meminta konfirmasinya terkait kasus dugaan korupsi yang menjeratnya saat masih menjabat sebagai Dirjen Pajak. 

Baru beberapa jam yang lalu Nurhadi sampai di gedung pernikahan yang berada di Komplek Komando Pembinaan Doktrin Pendidikan dan Pelatihan TNI Angkatan Laut (AL) Surabaya. Banyak anggota Polisi Militer AL yang berjaga. Ia menyelaraskan diri menggunakan batik layaknya tamu undangan. Ia tidak membawa peralatan apapun. Hanya ponsel pintarnya. Nurhadi datang dengan cukup mencolok karena tamu undangan lain datang dengan mobil, sedangkan Nurhadi datang dengan motornya. Setelah memarkirkan motornya, ia mencoba masuk lewat pintu depan. 

Upaya masuk gagal karena ternyata tamu undangan harus punya barcode yang tertera di undangan. Setelah berkelit bahwa undangannya tertinggal di kendaraannya, Nurhadi kembali ke parkiran.

Nurhadi tidak datang sendiri. Ia mengajak teman videografernya untuk merekam wawancaranya dengan Angin nanti. Mereka berangkat terpisah dan tidak banyak berkomunikasi di lokasi pernikahan. Setelah upaya masuknya gagal, Nurhadi mendapat pesan dari temannya untuk mencoba masuk lewat pintu selatan gedung. Ketika Nurhadi ke pintu selatan, ternyata benar tidak ada penjagaan. Pukul 07.15 malam, Nurhadi berhasil masuk ke ruangan pesta.

Beberapa hari sebelum pesta pernikahan, Redaktur Pelaksana di tempatnya bekerja, Linda Trianita, memberi Nurhadi informasi bahwa Angin akan mengadakan pesta pernikahan untuk anaknya. Kedatangan Nurhadi bukan untuk merusak pesta pernikahan. Tempo sudah mengeluarkan laporan investigasi dugaan korupsi Angin sejak bulan Februari. Tempo juga sudah mencoba menghubungi Angin untuk mewawancarainya, mulai dari menelpon, mengirim surat, hingga mendatangi langsung ke rumahnya di Jakarta. Namun Tempo tidak mendapat respon.

Awalnya, Nurhadi hanya berencana untuk mencegat Angin di luar gedung setelah pesta selesai. Namun, pintu gedung ada di berbagai sisi sehingga ia tidak akan tahu pintu keluar mana yang akan digunakan Angin. Ia dan temannya memutuskan mencoba masuk ke pesta untuk mengantisipasi di pintu mana Angin akan keluar.

Setelah berhasil masuk, Nurhadi mencoba membaur layaknya tamu undangan. Ia sempat mengambil buah potong di meja prasmanan. Kedua mempelai dan keluarga sedang berada di panggung pelaminan sembari menerima ucapan selamat dari beberapa tamu. Nurhadi mengeluarkan ponselnya, berjalan ke tengah gedung, memotret pelaminan, dan mengirimnya ke Linda Trianita. Ia ingin mengonfirmasi sosok Angin ke Linda. Beberapa menit setelah bertukar pesan dengan Linda, ia merasa ada yang mengawasinya dari belakang. 

Ia cepat-cepat mengirim pesan ke Linda, “Mbak, saya diikuti”. Itu adalah pesan terakhir Nurhadi sebelum malam panjang yang ia alami.

Papan tanda ‘Tidak Boleh Mengaktifkan HP dan Mengambil Gambar’ agaknya luput dilihat Nurhadi saat mencoba masuk lewat pintu depan. Dengan nada menuduh, dua sosok berpakaian batik lengan panjang bertanya, “Dari mana?”. Nurhadi mencoba berdalih bahwa ia dari pihak mempelai perempuan. Dua orang itu pergi mengonfirmasi ke pihak keluarga mempelai dan betul saja, tidak ada yang mengenal Nurhadi. Setelah dihardik, akhirnya Nurhadi mengaku bahwa ia jurnalis Tempo. 

Di tengah hardikan itu, sosok wanita berpakaian batik seragam abu-abu nyeletuk, “Itu Tempo kalau nulis jelek-jelekin”. Barangkali mereka sudah tahu isu yang berhembus seputar kasus korupsi Angin yang diangkat Tempo. “Ambil aja HP-nya,” lanjut wanita itu. Ponsel Nurhadi dirampas, kepalanya dijepit dengan lengan salah satu sosok berbatik, dan ia dibawa keluar dari ruang pesta.

1

 

 

 

Salawati Taher terbangun mendengar dering ponselnya. Ada telepon masuk dari kawannya, Miftah Faridl, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surabaya kepengurusan 2017-2020. Waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. “Sal, ada kasus. Tolong bantu,...” ucap Farid dari seberang. Berikutnya, ia langsung terjaga ketika diberi kabar bahwa seorang jurnalis habis dianiaya semalam. Ia bertanya-tanya, mengapa pada 2021 masih saja ada penyekapan jurnalis.

Dengan cepat ia dimasukkan ke grup pesan WhatsApp koalisi dan menjadi Tim Kuasa Hukum Nurhadi. Tidak butuh waktu lama, ia langsung bertemu dengan Nurhadi dan istrinya di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya. Siang itu juga, Salawati bersama rekan kuasa hukum lain dan Nurhadi melaporkan kasus di Polda Jatim dengan nomor laporan TBL-B/176/III/RES.1.6./2021/UM/SPKT dan segera melakukan visum. 

Setelahnya, Nurhadi dan istri tidak kembali ke rumah mereka, melainkan menetap di rumah aman dengan perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). 

Laporan diproses dengan cepat. Tanggal 7 Mei, dua anggota kepolisian ditetapkan menjadi tersangka, yaitu Purwanto dan Firman Subkhi. Walaupun sebenarnya yang menyerang Nurhadi lebih dari dua orang, penetapan tersangka dalam waktu kurang dari dua minggu ini disampaikan berbagai pihak sebagai kemajuan proses hukum kekerasan terhadap jurnalis. Rangkaian sidang pun hingga artikel ini terbit masih berlangsung bertahap sejak September 2021 di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Pada 1 Desember 2021, jaksa penuntut umum menuntut Purwanto dan Firman Subkhi hukuman 1 tahun 6 bulan penjara.

“Terlepas dari pelaku bebas atau tidak, yang penting ada proses hukum yang berjalan. Proses hukum yang berjalan patut kita hargai, karena ya memang kebanyakan kasus berhenti di penyelidikan atau penyidikan,” kata pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ahmad Fathanah.

...

Mau UGD atau kuburan?

"

Aksi solidaritas AJI Semarang di depan gedung Kejaksaan Tinggi Jateng menuntut maksimal pelaku penganiayaan jurnalis Nurhadi (01/12/2021) | foto/Leoni

 

 

Sebagai catatan, penetapan dua pelaku kasus penganiayaan Nurhadi juga bukan berarti penahanan langsung terhadap pelaku dilakukan. Hingga tuntutan dari jaksa penuntut umum turun, Purwanto dan Friman Subkhi masih bebas berkeliaran. Polda Jatim dan Polrestabes Surabaya beralasan mengapa hingga sekarang kedua pelaku masih menjalankan tugas dinas mereka adalah karena pihak kepolisian masih membutuhkan keberadaan dua personil anggota ini. Tim kuasa hukum Nurhadi lantas curiga, apa kepolisian berusaha melindungi dua personelnya?

“Perbandingannya itu kalau menurut pengamatan saya 1:10 sebenarnya,” kata Ahmad Fathanah mengenai penyelesaian kasus kekerasan terhadap jurnalis oleh aparat.

Artinya, dari 10 laporan kasus kekerasan terhadap jurnalis oleh aparat yang masuk, kemungkinan hanya satu yang kemudian diproses. Dan artinya, kasus yang bisa sampai pada vonis pelaku juga bisa dihitung jari. 

Kasus Nurhadi diharapkan banyak pihak, termasuk Salawati Taher, bisa menjadi tonggak keseriusan aparat kepolisian dalam menangani kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Pada 7 Agustus 2021, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memberikan penghargaan Udin Awards 2021 kepada Nurhadi. Penghargaan ini berasal dari nama jurnalis asal Bantul, Yogyakarta, yang dibunuh pada 1996 silam, dan diberikan kepada jurnalis-jurnalis yang mendapat kekerasan fisik maupun psikis akibat pemberitaan mereka.

16 Oktober 2021. Malioboro. Yogyakarta.

Waktu menunjukkan pukul 3.59 sore. Hanya ada segelintir orang yang melintas di depan Gedung Agung Yogyakarta yang gerbangnya tertutup rapat. Berseberangan dengan area Malioboro lain yang ramai wisatawan.

Seharusnya, hari ini ada belasan orang, atau bisa jadi puluhan, berdiri diam memunggungi Gedung Agung, menghadap para turis yang berlalu-lalang untuk menarik perhatian. Mereka menutup mulut dengan lakban sambil tangan mereka memegang poster atau spanduk. Tulisan poster beragam. Namun poster yang pasti tidak luput adalah potrait sosok pria dengan rambut agak botak dan perawakan agak galak karena berjenggot dan berkumis tebal. Potrait itu disertai dengan tulisan ‘Dibunuh Karena Berita’ yang didesain oleh seniman Yogyakarta, Anti Tank. Walau tidak diseragamkan, peserta aksi kebanyakan memakai pakaian hitam, kuat menandakan duka. Mereka menyebut diri sebagai peserta Aksi 16-an. 

Aksi ini seharusnya diadakan setiap tanggal 16 setiap bulan. Namun hari ini aksi urung dilakukan. Sejak dimulai pada Agustus 2014, aksi ini harus terhenti karena pandemi Covid-19 yang merambah tahun lalu. Ditambah dengan adanya aturan baru Gubernur Yogyakarta (Pergub nomor 1 tahun 2021) yang melarang aksi unjuk rasa di area Malioboro.

Suara kerincingan delman terdengar sesekali melintas Sabtu ini. Langit perlahan menggelap dengan matahari mulai turun bersembunyi di balik Gedung Agung. Sudah satu jam berlalu. Pukul 4.58. Pada menit ini, seharusnya akan ada suara kentongan yang dibunyikan salah satu peserta aksi. Tahun ini, Aksi 16-an akan bubar tepat setelah kentongan dibunyikan 25 kali. Jumlah yang sama dengan lamanya pemerintah urung mengusut tuntas kasus 25 tahun lalu. Menit yang sama dengan meninggalnya jurnalis asal Bantul, Fuad Muhammad Syafrudin, yang dibunuh pada 16 Agustus 1996 silam.

13 Agustus 1996. Dusun Samalo. Bantul. Yogyakarta.

 

Marsiyem (29) menyetrika pakaian seperti biasa malam ini di kamar belakang. Suaminya, Fuad Muhammad Syafrudin atau yang akrab dipanggil Udin, juga baru saja merebahkan diri sepulang kerja, ketika terdengar ketukan di pintu depan rumah mereka. Marsiyem melihat jam. Pukul 10.40. 

Di rumah mereka, tamu yang datang di tengah malam bukanlah hal baru. Profesi Udin sebagai seorang jurnalis wilayah Bantul di harian Berita Nasional (Bernas) bukanlah profesi yang kenal waktu. Pun dengan usaha studio foto kecil mereka. Marsiyem berpikir, siapa tahu yang datang sedang butuh membeli roll kamera film. Tanpa kecurigaan apapun, Marsiyem berjalan membukakan pintu untuk ‘tamu’ mereka malam ini.

Dengan pencahayaan remang-remang teras rumahnya, Marsiyem tidak begitu melihat jelas siapa sang tamu. Sang tamu adalah sosok pria yang tidak lebih tinggi daripada suaminya. Bahasa yang digunakan sang tamu terdengar bersahabat, mencari Udin layaknya kawan lama. 

“Pak Udin wonten (ada), Bu?” tanya sang tamu.

Dengan bahasa Jawa, sang tamu mengatakan motornya mogok di sebelah utara. Ia juga menunjukkan besi sepanjang jengkal yang Marsiyem pahami hanya sebatas salah satu peralatan onderdil yang menyebabkan motornya mogok.

Marsiyem pun kembali ke kamar belakang memanggil sang suami. Udin bergegas mengganti sarungnya dengan celana panjang. Kaosnya ia masukkan ke celana. “Kok tumben?” tanya Marsiyem bingung dengan sang suami yang rela rapih-rapih hanya untuk bertemu dengan tamu. “Lha jarene koncoku?” balas Udin dengan logat Jawanya, yang berarti “Lha katanya temanku?”. 

Dengan Udin keluar untuk mendatangi sang tamu, Marsiyem kembali menyetrika di kamar. Selang tiga menit, firasat Marsiyem mulai tidak enak. Tidak ada suara percakapan sama sekali dari teras depan. Mungkin sang tamu mengajak Udin untuk ke tempat motornya mogok di sebelah utara. Namun firasat Marsiyem menyuruhnya untuk mengecek ke teras depan.

 

udin udin udin_4x.png

Baru berjalan sampai di ruang tengah rumahnya yang ia jadikan studio foto, ia mendengar suara gedebuk keras benda jatuh dari teras. Marsiyem segera berlari ke arah suara. Sesampainya di pintu rumah, ia menemukan sang suami terbaring tergeletak dengan pelipis bonyok. Darah mengalir dari kepala, hidung, dan telinga Udin. 

 

 

 

Marsiyem berteriak, menangis, dan langsung memeluk kepala sang suami. Darah Udin merembes di baju Marsiyem, tapi ia tidak menggubrisnya. Tetangga berdatangan mendengar teriakan Marsiyem. Namun, tidak ada yang berani langsung mendekat.

18 Oktober 2021. Trirenggo. Bantul. Yogyakarta.

 

Marsiyem berkaca-kaca ketika mengenang kata-kata dokter tentang nasib Udin saat sedang kritis kala itu. 

“Bu, kalau misalkan sembuh, dia ndak akan ingat apa-apa,” Marsiyem menirukan kata-kata sang dokter di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. “Saraf-saraf otaknya sudah putus,” lanjutnya sambil menahan isak. 

Walaupun 25 tahun sudah berlalu, sepasrah dan serela apapun Marsiyem, ia masih tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Tiga hari sudah ia menjalani masa-masa berat setelah kejadian malam itu. Tanggal 16 Agustus 1996, Udin menghembuskan nafas terakhirnya

Harapan 20 persen kemungkinan hidup yang disampaikan dokter sebelumnya, pupus sudah. Marsiyem mengatakan tidak mengingat banyak kejadian setelahnya. Marsiyem pingsan tidak sadarkan diri.

Dari Bantul, Untuk Istana | video/Leoni

...

Ketua Koalisi Masyarakat untuk Udin (K@MU), Tri Wahyu, mengingat dengan jelas kejadian di Mahkamah Militer beberapa tahun setelah pembunuhan Udin. Ia menyaksikan sendiri dalam sidang itu, Marsiyem menangis mendengar tuduhan-tuduhan jaksa. Marsiyem menirukan salah satu kalimat jaksa saat itu, “Kamu itu, cuma masalah block note gitu aja kok dipermasalahkan? Emangnya itu benda keramat?”. 

Sidang itu adalah sidang kasus penghilangan salah satu barang yang mungkin dapat menjadi petunjuk kasus pembunuhan Udin, yaitu block note atau buku catatan liputan Udin, yang dihilangkan oleh Kanit Reserse Umum Polres Bantul kala itu, Edy Wuryanto.

“Itu sangat menyakitkan,” kata Wahyu yang saat itu melihat Marsiyem diserang pertanyaan-pertanyaan menyudutkan oleh jaksa. “Jadi kayak yang bermasalah itu jadinya keluarga Udin,” tambahnya.

Marsiyem mengatakan ia sudah lelah. 

“Lelah banget. Kalau sekarang itu kan karena sudah lama saya lebih banyak berpasrah diri. Tahun-tahun awal kan sempet punya pikiran polisi bakal ngungkap. Tapi setelah kejadian si Iwik itu, wah ternyata cuma seperti ini (cara polisi). Berarti benar waktu di awal itu kan dia (polisi) memfokuskan saya biar beralih ke permasalahan perselingkuhan. Jadi memang digiring kita itu karo (sama) polisi supaya ini nanti bisa membelok ke sana itu bagaimana,” ujar Marsiyem.

Polisi menjadikan pria bernama Dwi Sumaji (Iwik) ‘tersangka’ pembunuhan Udin. Padahal menurut Wahyu, investigasi mengarah pada temuan bahwa Edy Wuryanto, yang memiliki bisnis politik dengan Bupati Bantul saat itu, memberi Dwi Sumaji minuman keras dan memaksanya mengaku bahwa ialah pembunuh Udin. 

Hingga kini kasus Udin belum juga tuntas. Dalang pembunuhan sukar diungkap. Walaupun divonis bebas, polisi masih meyakini bahwa Dwi Sumaji adalah pembunuh Udin. Namun Marsiyem dan Tim Koalisi percaya, pembunuhan Udin adalah karena berita-berita kritis seputar korupsi yang ia tulis. 

Setahun belakangan sebelum dibunuh, Udin secara tidak langsung banyak menyinggung tentang Bupati Bantul kala itu, yaitu Sri Roso Sudarmo. Temuan ini ditulis Asril Sutan Marajo dalam buku ‘Memburu Pembunuh Wartawan: Investigasi Kasus Kematian Udin’. Kala itu, Asril adalah salah satu anggota Tim Pencari Fakta (TPF) bentukan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang membantu investigasi polisi mencari data dan fakta untuk mengungkap kasus pembunuhan Udin.

Salah satu yang ditulis Udin adalah tentang pembangunan besar-besaran mega proyek Parangtritis, Bantul. Pembangunan seperti hotel bintang lima dan lapangan golf dilakukan tanpa ganti rugi terhadap warga penghuni wilayah yang dikosongkan untuk proyek ini. Udin menulis berita tersebut dan mengakibatkan kemarahan Bupati. Bupati meminta tidak mau lagi menemukan berita tentang mega proyek ada di koran.

Pada Mei 1996, Udin menulis berita tentang pencalonan kembali Sri Roso menjadi Bupati untuk kedua kalinya. Pemberitaan menyorot bahwa calon Bupati siap menyumbang satu miliar ke Yayasan Dharmais, yang adalah yayasan milik Presiden Soeharto. Sri Roso siap menyumbang jika terpilih lagi menjadi Bupati. Setelah kembali terpilih menjadi Bupati, Udin juga menulis tentang usaha Sri Roso menggunakan Dana Bantuan Desa (Bandes) untuk memenangkan Partai Golkar dalam Pemilu tahun 1997.

Dari bulan Juli hingga Agustus 1996, kantor harian Bernas juga kedatangan pihak Pemerintah Daerah Bantul yang memprotes pemberitaan Udin tentang pemotongan dana Inpres Desa Tertinggal (IDT). Akibat pemberitaan IDT ini, TPF menemukan berbagai reaksi Pemda, mulai dari memo yang dikirim Sri Roso ke Camat wilayah Imogiri Bantul untuk ‘membuat pertemuan sebelum 17 Agustus’, hingga paksaan sekelompok Pemda Bantul untuk jajaran redaksi Bernas meminta maaf kepada Sri Roso.

Bernas menolak meminta maaf. TPF menduga kemarahan Pemda berlanjut hingga sehari sebelum Udin diserang. Pada 12 Agustus 1996 malam, seorang pria tidak dikenal datang dua kali berturut-turut ke rumah Udin pada pukul 22.00 dan 01.00, mengintip rumah Udin lewat lubang kunci, kemudian langsung pergi.

 

 

 

Belum lama Sasmito Madrim menjabat sebagai Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Ia terpilih sejak 2 Maret 2021 untuk kepengurusan hingga 2024. Ketika ditemui di kantor AJI di kawasan Jakarta Selatan untuk berdiskusi soal situasi kebebasan pers di Indonesia, ia mengenang satu lagi kasus pembunuhan jurnalis di Indonesia.

Awal tahun 2009, jurnalis Radar Bali, Anak Agung Narendra Prabangsa ditemukan tewas mengambang di Teluk Bungsil, Padang Bai, Bali. Setelah dilakukan visum di Rumah Sakit Amlapura, ditemukan sejumlah bukti penganiayaan sebelum Prabangsa ‘dibuang’ ke laut hidup-hidup. Dahi Prabangsa remuk, di lehernya terdapat luka lebam bekas jeratan tali, dan pergelangan tangan kanannya juga patah. 

Hasil investigasi kasus kematian Prabangsa mengerucut pada satu penyebab, yaitu pemberitaannya akhir 2008 tentang korupsi proyek pembangunan Dinas Pendidikan Kabupaten Bangli, Bali. Penyelidikan lantas menemukan bukti-bukti yang merujuk pada pelaku yang sekarang tengah menjalani hukuman seumur hidup, I Nyoman Susrama, seorang kontraktor proyek pembangunan yang juga adik kandung dari Bupati Bangli kala itu, I Nengah Arnawa.

Sepuluh tahun setelah kejadian, pada awal tahun 2019, AJI melakukan demo besar-besaran di lebih dari 30 kota, merespon keputusan Presiden Joko Widodo yang memberikan remisi atau pengurangan hukuman atas vonis penjara seumur hidup Susrama.

“Itu sangat menyakiti rasa keadilan teman-teman jurnalis,” ujar Sasmito.

Selain demo di 30 kota, kampanye daring disebar di mana-mana. Petisi di portal Change.org berjudul “Cabut Pengurangan Hukuman Pembunuh Jurnalis AA Prabangsa” dipasang dan 50.000 lebih orang menandatanganinya. Diskusi-diskusi yang melibatkan akademisi juga dilakukan. AJI pusat melakukan lobi langsung ke Kemenkumham dan Istana Negara, dibarengi dengan AJI kota yang aktif mengirim surat-surat protes ke perwakilan Kemenkumham.

Akhirnya aksi-aksi ini membuahkan hasil. Pada 9 Februari 2019, Presiden Joko Widodo resmi membatalkan pemberian remisi untuk Susrama.

Udin dan Prabangsa hanya dua dari ratusan kasus pembunuhan jurnalis di seluruh dunia akibat memberitakan isu korupsi. Secara global, organisasi internasional Reporters Without Borders menyebut isu korupsi daerah dan apapun yang berkaitan dengan penyalahgunaan anggaran publik sebagai salah satu topik pemberitaan yang paling berbahaya untuk diangkat jurnalis. Sejak 1992, setidaknya sudah ada 303 jurnalis di seluruh dunia yang dibunuh karena mengangkat isu korupsi.

...

Kamu itu, cuma masalah block note gitu aja kok dipermasalahkan?

"

 

“Kalau dilihat dari beberapa kasus sih memang yang di depan mata kita itu satu, isu-isu korupsi,” ujar Sasmito menanggapi persoalan topik apa yang paling sensitif untuk diangkat jurnalis di Indonesia.

Secara terpisah, Ahmad Fathanah mengatakan hal yang serupa dengan Sasmito. Berdasarkan catatan pribadi kasus-kasus yang ia pantau dan tangani, Ahmad menyebut korupsi sebagai salah satu dari tiga topik yang paling banyak menyebabkan kekerasan atau pelaporan pidana, di samping peliputan tentang isu lingkungan dan demonstrasi.

Salah satu kasus kekerasan akibat isu korupsi yang dimaksud Ahmad, yang kemudian juga menjadi sorotan di awal tahun 2021, adalah kasus kekerasan yang menimpa kontributor Tempo di Surabaya, Nurhadi. 

Isu Baru, Ancaman Baru

1 Mei 2020. Halmahera Selatan. Maluku Utara.

Isu Baru, Ancaman Baru

Sahril Helmi baru saja selesai melakukan Sholat Jumat ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya. Jurnalis media online Kabardaerah.com yang tinggal di Desa Bisui ini dipanggil ke kantor Kepala Desanya, Sudirman HI. Muhammad. 

Sudirman berkata mau memberikan klarifikasi terhadap pemberitaan yang ditulis Sahril. Sehari sebelumnya, Sahril menulis dan menerbitkan artikel berjudul “Kades Bisui Diduga “Sunat” Dana Covid-19”. Sahril membahas bagaimana warga desa mengeluhkan belum adanya pengadaan fasilitas kebersihan dan penanganan pandemi di Desai Bisui yang berarti. Padahal menurut Sahril, sebelumnya Sekretaris Daerah Halmahera Selatan memberi arahan untuk desa-desa di kabupaten Halmahera Selatan menyiapkan anggaran penanganan Covid-19 sebesar 50 juta.

Sahril_edited_crop.jpg

Wawancara daring dengan Sahril Helmi (22/10/2021) | foto/Pradinia

Sebelum menerbitkan artikelnya, Sahril sudah meminta keterangan dari Sudirman sebagai Kepala Desa Bisui. Sudirman sempat memberikan jawaban bahwa pengadaan sudah dilakukan, dengan 200 pack masker, satu penyemprotan disinfektan, dan alat pelindung diri yang total semuanya menghabiskan dana sekitar 20 juta. Sisa dana dikatakan Sudirman digeser untuk instalasi listrik rumah-rumah desa. Kejanggalan dilihat Sahril sebab kepala desa tidak mampu memberikan detail

 

anggaran sebenarnya dan masih banyak warga desa yang belum mendapat masker. Tempat cuci tangan umum yang seharusnya menjadi kebutuhan dasar per desa dalam mencegah penularan Covid-19 juga belum terlihat.

Merespon panggilan Sudirman sehari setelah beritanya tayang, dengan motor dan ditemani satu temannya, Sahril langsung menuju kantor Kepala Desa. Sesampainya, belum masuk ke kantor, Sahril sudah mulai merasakan situasi yang tidak nyaman. Beberapa anggota Pemda tampak berkumpul dan melihatnya dari belakang. Dan ketika Sahril masuk ke kantor, belum sempat mengatakan apa-apa, Sudirman langsung menerjang Sahril dengan tangan terulur akan mencekik Sahril.

Sahril berhasil menghindar walaupun lehernya tergores kuku Sudirman. Sahril dan Sudirman kemudian terlibat adu mulut. Sahril mengingat salah satu kalimat yang dilontarkan Sudirman termasuk, “Bikin berita itu yang baik-baik!”. 

Barangkali Sahril boleh lega karena dua bulan berikutnya, Sudirman terbukti bersalah atas tindakan intimidasinya pada Sahril dan ditahan. Pada bulan September 2020, Sudirman juga diberhentikan dari posisinya sebagai Kepala Desa.

Tiga bulan setelah kejadian yang menimpa Sahril, nyaris pada waktu yang bersamaan, situs media Tempo.co dan Tirto.id diretas. 

Sebelumnya, jurnalis Tirto.id, Haris Prabowo, menulis klaim temuan obat Covid-19 oleh UNAIR, BIN, dan TNI AD dengan kritikan telah melangkahi disiplin sains. Artikel diterbitkan pada 20 Agustus 2020. Malam hari menuju dini hari, Haris melaporkan ke tim IT Tirto.id bahwa halaman artikelnya tidak bisa dibuka dengan keterangan "404: Halaman Tidak Ditemukan". Setelah diperiksa, artikel yang ditulis Haris telah dipindahkan ke bagian ‘Trash’. Selain tulisan Haris, terdapat enam artikel lain yang juga dihapus peretas dari situs Tirto.id pada malam itu. Dalam catatan LBH Pers, disebut peretas masuk lewat akun editor Tirto.id, kemudian masuk ke Content Management System (CMS), dan membuang delapan artikel tersebut.

Pada dini hari yang sama, lewat akun administrator, tampilan situs Tempo dirusak menjadi warna hitam dengan latar lagu Gugur Bunga selama 15 menit. Kalimat yang ditampilkan pelaku di situs Tempo adalah “Stop Hoax, Jangan BOHONGI Rakyat Indonesia, Kembali ke etika jurnalistik yang benar patuhi dewan pers.. Jangan berdasarkan ORANG yang BAYAR saja”. LBH Pers menyebut kalimat ini sebagai pesan politik. Pada bagian akhir kalimat, disebutkan bahwa identitas pelaku adalah @xdigeeembok . Setelah dicek ke Twitter, akun @xdigeeembok menulis status “#KodeEtikJurnalistikHargaMati” dan “Malam Jumat ada yg lembur. Mampus… db bye… bye… bye…”.

Kasus peretasan ini dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Tempo dan Tirto dengan didampingi LBH Pers pada 25 Agustus 2020. Namun sudah lebih dari setahun berlalu, tidak ada progres setelah polisi menaikkan status peretasan ini ke tahap penyidikan pada 1 Oktober 2020. “Terakhir itu pemberian bukti-bukti peretasan. Sudah itu doang,” kata Ahmad Fathanah yang turut mendampingi kasus ini. Sasmito Madrim menyebut, pihak kepolisian tidak serius dalam memproses laporan Tempo dan Tirto.id

Kasus yang dialami Sahril, Tirto.id, dan Tempo adalah tiga dari total 11 kasus pembatasan kerja jurnalis dan pers ditengah peliputan pandemi Covid-19 pada 2020. Dalam catatan akhir tahun LBH Pers, isu pandemi ini menempati urutan kedua jumlah terbanyak untuk pola kekerasan dan pembatasan kerja terhadap jurnalis.

Organisasi internasional Reporters Without Borders menemukan setidaknya 90 dari 193 negara anggota PBB menghalang-halangi kerja jurnalisnya dalam meliput Covid-19 dari awal pandemi hingga Juni 2020 lalu. Pusat Informasi Regional PBB (UNRIC) juga menyebut, pandemi Covid-19 dalam beberapa kasus menyebabkan peningkatan kekerasan dan tindakan agresif terhadap jurnalis di lapangan. Secara global, organisasi International Press Institute mencatat setidaknya terdapat 577 kasus, mulai dari sensor, serangan fisik dan verbal, pemidanaan, hingga pembatasan akses informasi, yang menimpa jurnalis dan media yang meliput isu pandemi Covid-19 sepanjang tahun 2020.

...

Bikin berita itu yang baik-baik!

"

 

 

Setiap wilayah memiliki tren pola jenis pembatasannya masing-masing. Di Eropa misalnya, jenis pembatasan paling banyak adalah serangan fisik maupun verbal yang setidaknya terdapat 94 kasus. Sensor pemberitaan di Amerika menempati posisi tertinggi dibandingkan wilayah lain. 

Wilayah Afrika didominasi dengan penangkapan/pemidanaan jurnalis sebanyak 37 kasus. Salah satu kasus yang kemudian banyak disorot adalah pemenjaraan jurnalis asal Zimbabwe, Hopewell Chin’ono, yang memberitakan tentang kasus korupsi Menteri Kesehatan Zimbabwe. Dana yang dikorupsi seharusnya diperuntukkan untuk fasilitas kesehatan dan alat pelindung diri. 

Wilayah Asia dan Pasifik berada di urutan paling atas dibandingkan dengan wilayah lain untuk kategori kasus penangkapan/pemidanaan dengan 97 kasus. Yang menjadi sorotan adalah penahanan jurnalis yang terjadi di China.

Menurut Kedutaan Besar Inggris di Beijing, setidaknya ada 47 jurnalis yang ditahan di China karena pemberitaan mereka tentang Covid-19 di tahun 2020. Salah satunya menimpa Zhang Zhan, jurnalis warga yang juga adalah mantan pengacara. Zhang Zhan divonis empat tahun penjara di Shanghai setelah peliputannya tentang penanganan buruk pemerintah pada awal merambahnya Covid-19 di Wuhan.

Dibanding dengan wilayah lain, wilayah Asia dan Pasifik menempati urutan tertinggi untuk kategori pembatasan akses informasi sebanyak 29 kasus. Dalam diskusi daring ‘The Impact of Covid-19 Second Wave on Media Freedom’ yang diselenggarakan oleh AJI, Nop Vy, Direktur Eksekutif Aliansi Jurnalis Kamboja (Camboja), membenarkan adanya pembatasan akses informasi ini. Beberapa negara bahkan hanya memperbolehkan pemberitaan dari sisi pemerintah. Narasumber dibatasi hanya pada satu orang, mengakibatkan terbatasnya kesempatan untuk verifikasi. 

“Bagaimana satu juru bicara dari pemerintahan bisa merespon ratusan pertanyaan dari jurnalis?” tanya Nop Vy.

Hal yang tidak jauh berbeda juga disampaikan Shinta Maharani, Ketua AJI Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta bebas dari kekerasan terhadap jurnalis akibat peliputan pandemi. Namun ia mengatakan, kondisi pandemi ini banyak dimanfaatkan pejabat untuk menolak melakukan wawancara maupun memberikan data. 

Shinta adalah bagian dari tim kolaborasi antar media Kompas, Tempo, Tirto, Harian Jogja, dan Gatra yang mengungkap data paparan Covid-19 terhadap pekerja kesehatan di daerah Yogyakarta. Temuan investigasi menunjukkan setidaknya ada 304 pekerja kesehatan yang terinfeksi Covid-19 hingga 2 September 2021. Sedangkan pemerintah Yogyakarta mengatakan per 24 Agustus 2021 pekerja kesehatan yang terpapar ada sekitar 160 orang. Shinta mengatakan data itu jauh berbeda dengan fakta di lapangan. Saat melakukan investigasi ini, Shinta mengatakan Kepala Dinas Kesehatan Yogyakarta tidak responsif. 

 

 

 

Bagi Shinta, risiko investigasi seputar pandemi ini tidak jauh berbeda dengan peliputan korupsi. Keduanya sama-sama berisiko karena membongkar kejahatan atau sesuatu yang ditutup-tutupi. Reporters Without Borders juga menyebut, di tengah perlawanan dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang mengancam kesehatan masyarakat, perbedaan suara yang mempertanyakan pernyataan resmi pemerintahan bisa dianggap sebagai musuh dan berada dalam posisi yang berbahaya.

Bagian

bottom of page