top of page
CoverII_crop.jpg

Bongkar Pasang

Berangus Anjing Penjaga

#unfree_journalist

Ilustrasi sebaran pembunuhan jurnalis Indonesia | foto/Pradinia

map

 

 

Karir Andreas Harsono sebagai jurnalis di harian The Jakarta Post tidak lama. Tidak genap setahun. Jurnalis senior penerima beasiswa Nieman di Universitas Harvard Amerika ini diminta meninggalkan The Jakarta Post pada November 1994.

“Alasan utamanya karena saya dianggap partisan. Dianggap wartawan yang aktivis. Kontrak saya tidak diperpanjang,” kata Andreas.

1

 

Tahun 1994 barangkali menjadi tahun yang membekas bagi sejarah pers di Indonesia. Pada 21 Juni 1994, majalah Tempo yang dikenal dengan liputan investigasinya dibredel. Dua media cetak lain, Detik dan Editor, juga dibredel pada waktu yang bersamaan. 

Bredel adalah istilah yang digunakan pada rezim Orde Baru untuk pencabutan surat izin terbit media oleh (dulu) Menteri Penerangan. Tempo, Detik, dan Editor dibredel karena tidak mengikuti himbauan yang diberikan rezim. Tempo misalnya, menjadi satu-satunya media yang berani mengungkap adanya pembengkakan harga kapal bekas perang dari Jerman Timur yang dibeli rezim Presiden Soeharto dengan harga 62 kali lipat. Pemberitaan ini mengundang kemarahan Presiden dan berujung pada pencabutan izin terbit Tempo.

Dalam buku ‘Semangat Sirnagalih, 20 Tahun Aliansi Jurnalis Independen’, pembredelan ini lantas membuat gejolak di antara masyarakat. Tidak hanya aktivis dan jurnalis yang memprotes tindakan rezim, tetapi juga masyarakat umum yang merasa sumber informasi berupa bacaan mereka terhenti karena pembredelan.

Pada bulan Agustus di tahun yang sama, sekelompok jurnalis dari berbagai media mulai berkumpul dalam aksi diam-diam. Andreas ada dalam kelompok jurnalis ini. Rumah kontrakan Andreas di daerah Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, menjadi salah satu saksi bisu pertemuan mereka. Mereka sedang menyiapkan aksi ke kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Saat itu PWI adalah organisasi tunggal jurnalis bentukan rezim Orde Baru. Buku ‘Semangat Sirnagalih, 20 Tahun Aliansi Jurnalis Independen’ menyebut, para jurnalis dan peserta aksi mengajukan petisi kepada PWI karena dianggap tidak memihak kepentingan jurnalis dan malah membenarkan pembredelan Tempo, Detik, dan Editor. 

PWI urung menyampaikan tuntutan jurnalis ke Menteri Penerangan. Hal ini semakin menguatkan tekad para jurnalis untuk mendirikan wadah organisasi jurnalis selain PWI. Selama dua hari sejak 6 Agustus 1994, puluhan hingga ratusan jurnalis berkumpul di kawasan Sirnagalih, Bogor, untuk membahas bagaimana melawan pembredelan, salah satunya bahasan tentang membuat organisasi profesi jurnalis baru. Mereka sepakat menggunakan nama organisasi ‘Aliansi Jurnalis Independen’ (AJI).

Dini hari tanggal 7 Agustus 1994, penandatangan deklarasi dimulai. Deklarasi ini diberi nama Deklarasi Sirnagalih. Puluhan nama menandatangani, beberapanya seperti jurnalis senior Tempo Ahmad Taufik (Alm.), aktivis Arief Budiman (Alm.), sastrawan dan salah satu pendiri Tempo Goenawan Mohamad, Ketua Dewan Pers periode 2016 -2019 Yosep Adi Prasetyo, penulis Ayu Utami, dan termasuk Andreas sendiri. 

Risiko menandatangani tinggi. Karena menandatangani deklarasi ini berarti membelot dari peraturan perundangan rezim tentang organisasi tunggal jurnalis. 

“Yang siap mati, tanda tangan. Yang tidak siap mati, tidak usah tanda tangan,” kata Yosep Adi Prasetyo menirukan Arief Budiman dalam wawancaranya untuk ‘Semangat Sirnagalih, 20 Tahun Aliansi Jurnalis Independen’.

Bulan November 1994 adalah momentum penting bagi Indonesia, khususnya Presiden Soeharto. Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC). Namun Andreas Harsono mengatakan, terbit surat yang melarang jurnalis-jurnalis yang terlibat dalam pendirian AJI untuk meliput pertemuan besar antar negara ini. Presiden Soeharto takut jurnalis-jurnalis yang mendirikan AJI akan berdemonstrasi dan menyedot perhatian internasional selama APEC berlangsung. 

“Pihak PWI juga minta orang-orang yang tanda tangan Deklarasi Sirnagalih, pendirian AJI, untuk dikeluarkan dari ruang-ruang redaksi,” kata Andreas.

Pertemuan APEC selesai. Pada akhir November 1994, Andreas yang saat itu merupakan jurnalis The Jakarta Post sekaligus menjadi juru bicara AJI, dipecat dari ruang redaksi. Begitupun dengan beberapa jurnalis lain yang turut mendirikan AJI.

Wawancara daring dengan Andreas Harsono (22/06/2021) | foto/Pradinia

Wawancara daring dengan Andreas Harsono (22/06/2021) | foto/Pradinia

April 1997. Kantor Harian Berita Nasional. Yogyakarta.

 

“Mas Heru, ini Anda saya minta mengundurkan diri,” ujar Kuswandi.

Siang itu Heru Prasetya baru kembali dari peliputannya di Pengadilan Negeri (PN) Sleman. Rekan kerjanya memberi tahu bahwa Heru dipanggil ke ruangan Kuswandi, Pemimpin Umum redaksi harian Berita Nasional (Bernas).

Tahun ini sudah memasuki tahun ke-8 Heru bekerja di Bernas. Heru menjabat sebagai Redaktur koran yang diakuisisi oleh grup Kompas ini. Fuad Muhammad Syafrudin atau Udin, jurnalis Bernas yang dibunuh pada Agustus 1996 [baca “Berani Bicara, Kuatkan Sabuk Pengaman!”], adalah salah satu jurnalis di bawah tanggung jawab Heru.

“Lho, kenapa, Pak?” tanya Heru kaget.

Kuswandi menjelaskan, paginya para pimpinan di Bernas mengatakan ada orang di redaksi yang ‘tidak bersih lingkungan’. Salah satunya Heru. ‘Tidak bersih lingkungan’ saat itu adalah sebutan untuk orang-orang yang terindikasi sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Heru tidak habis pikir mengapa pimpinannya bisa mempercayai kabar keliru itu. Heru lantas mendebat Kuswandi dengan alasan janggalnya kemunculan kabar yang terlalu tiba-tiba bahwa Heru bagian dari PKI. Kabar keliru ini baru muncul tujuh tahun sejak Heru bergabung dengan Bernas di tahun 1989 dan tidak genap satu tahun sejak kasus pembunuhan jurnalisnya.

“Pokoknya saya minta Anda mengundurkan diri. Ini demi perusahaan kita,” respon Kuswandi.

Pada saat yang bersamaan, beberapa jurnalis Bernas juga dipindah-tugaskan ke kota lain, seperti ke Purworejo, Semarang, Magelang, dan Solo. Sebelumnya, Heru bersama beberapa jurnalis Bernas yang dipindahkan ini terbentuk dalam Tim Kijang Putih. 

Tim Kijang Putih adalah kumpulan jurnalis-jurnalis lapangan di Yogyakarta yang melakukan investigasi kasus pembunuhan Udin. Dalam investigasinya, mereka menggunakan mobil kijang berwarna putih milik Bernas. Maka dari itu orang-orang menyebut mereka Tim Kijang Putih. Heru ditunjuk jurnalis-jurnalis lain untuk menjadi koordinator tim ini. 

Tim Kijang Putih tidak pernah terbentuk secara resmi. Para jurnalis hanya berkumpul, melakukan investigasi bersama, dan saling membagikan data untuk kemudian diberitakan. Heru mengatakan, ada perbedaan tujuan antara Tim Kijang Putih dengan Tim Pencari Fakta (TPF) bentukan PWI kala itu. TPF memiliki tujuan untuk membuat laporan pertanggungjawaban ke PWI dan membantu melancarkan kerja investigasi kepolisian. Sedangkan Tim Kijang Putih bertujuan untuk memberitakan secara luas temuan mereka. Akhirnya Tim Kijang Putih dan TPF bekerja sendiri-sendiri, meskipun kemudian temuan keduanya saling melengkapi untuk mendapat gambaran utuh kasus pembunuhan Udin.

Sejak awal kasus penyerangan dan pembunuhan Udin, Bernas hampir setiap hari selalu memberitakan tentang Udin. Heru mengatakan ia secara khusus meminta izin pimpinannya untuk sementara waktu tidak menjalankan tugasnya sebagai Redaktur. Ia mau fokus melakukan investigasi kasus pembunuhan Udin, jurnalis yang juga sekaligus kawannya. Izin diberikan pimpinan untuk Heru. Namun, tidak lama setelah ia kembali bekerja seperti biasa sebagai Redaktur, Heru diminta mengundurkan diri.

“Kami itu seperti dicerai-beraikan. Sepertinya Tim Kijang Putih dari Bernas ini dipecah-belah oleh pimpinan kami sendiri,” kata Heru merespon pola pemecatan dirinya dan pemindahtugasan jurnalis-jurnalis Bernas.

Namun, keputusan sudah dibuat. Heru harus hengkang dari Bernas.

Pameran Memorabilia Wartawan Udin di Ruang Kolaborasi Antologi, Sleman, Yogyakarta dalam memeringati

Hari Kebebasan Pers Internasional (7/5/2021) | foto/Leoni

Kami itu seperti dicerai-beraikan.

"

 

 

Di mata Andreas Harsono, pers pada masa Orde Baru bekerja dalam bayang-bayang kontrol yang menakutkan, setidaknya bagi pimpinan media dan jajaran redaksi.

Setiap kembali ke kantor The Jakarta Post sepulang liputan, Andreas selalu menyempatkan untuk membaca pesan-pesan di papan belakang sekretaris redaksi. Beberapa kali ia menemukan pesan berupa himbauan dari institusi militer, 

“Misalnya untuk tidak meliput perkelahian antar polisi dengan tentara,” kata Andreas.

Pesan himbauan itu bagi Heru Prasetya masih bersifat halus. Tapi bagi Andreas, tidak menuruti himbauan berarti dianggap melakukan dosa akumulatif, yang mana jika pengabaian terus dilakukan bisa berujung pada pembredelan atau pemecatan.

Tekanan lebih kuat terjadi jika pesan himbauan berubah dalam bentuk telepon. Heru menyebut panggilan telepon ini sebagai larangan tanpa jejak. Di harian Bernas sendiri, telepon-telepon dari institusi militer seperti dari Komando Resor Militer (Korem) hingga Komando Daerah Militer (Kodam) sering masuk ke Pemimpin Redaksi dan jajaran pimpinan Bernas. Beberapa panggilan menyuruh media untuk tidak meliput demo yang menentang kebijakan Presiden Soeharto atau permasalahan pejabat lainnya. 

“Telepon-telepon himbauan itu menakutkan, buat minimal redaktur dan para pemilik media. Dan yang terjadi, rasa takut itu ditularkan ke redaktur mereka, redaktur desk, dan akhirnya wartawannya,” kata Andreas.

Jika telepon masih juga tidak diindahkan, Heru mengatakan bahwa biasanya akan berujung pada undangan pertemuan. Setelah keluar dari Bernas, Heru baru mengetahui bahwa di pagi hari di mana ia dipecat, pimpinan redaksinya dipanggil oleh Korem. Desas-desus yang didengar Heru mengatakan, bahwa pertemuan itu memerintahkan pimpinan Bernas untuk menghentikan berita-berita tentang kasus pembunuhan Udin apapun caranya.

Sambil tertawa, Andreas mengingat bahwa salah satu jajaran redaksi di The Jakarta Post pernah mengatakan, “Wartawan kayak Andreas itu tidak bisa (membuat) Pimpinan Redaksi atau bos-bos lain itu pulang dan tidur nyenyak.”

 

 

 

Belenggu kebebasan pers dilepas pasca kejatuhan rezim Orde Baru di tahun 1998. Tidak ada lagi bayang-bayang kontrol pemerintah berupa Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang bisa dicabut kapan saja. Pada tahun 1999, terbit Undang-Undang nomor 40 tentang Pers, di mana mulai detik itu, kebebasan pers dijamin oleh hukum.

Untuk sesaat, insan pers merasakan bebasnya meliput, melakukan investigasi, berpendapat, dan mengkritik.

Namun perlahan, bentuk-bentuk belenggu lain yang menahan kebebasan pers mulai bermunculan. 


...

Seniman Anang Saptoto

Sebagai kurator pameran
Memorabilia
Udin

 

 

Dengan tren penyebaran informasi yang tidak lagi hanya lewat cetak dan siaran, tetapi juga secara daring, serangan dalam bentuk digital terhadap pers juga menjadi masif. Di tahun 2020, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat setidaknya ada 12 serangan digital dengan berbagai bentuk. Dimulai dari penyebaran data pribadi jurnalis atau doxing, peretasan, ancaman digital, hingga serangan Distributed Denial of Service (DDoS) berupa bot yang memenuhi server suatu situs hingga situs tidak bisa dibuka. Ketua AJI Indonesia periode 2021-2024, Sasmito Madrim, menyebut tren serangan bot ini sebagai pergeseran bentuk dari yang dulunya penyerangan langsung ke kantor media. 

Angka serangan digital ini meningkat dibanding tahun 2019 yang tercatat ada lima serangan. LBH Pers dalam catatan akhir tahunnya menyebut bahwa serangan digital ini dilancarkan oleh pihak tertentu yang merasa terganggu dengan berita yang ditulis jurnalis atau dipublikasikan media bersangkutan. 

Menurut catatan AJI, total angka kekerasan dan pembatasan kerja terhadap jurnalis di tahun 2020 lalu mencapai angka tertingginya sejak tahun 2006, dengan total 81 kasus. Bentuk kekerasan fisik masih mendominasi selama beberapa tahun terakhir. Dan ini merata terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.

“Kadang-kadang potensi itu akan berlipat ganda kalau misalkan teman-teman yang meliput itu justru di daerah. Kalau mereka melakukan investigasinya di wilayah sendiri, terus setelah berita diberitakan, potensi kekerasannya cukup tinggi,” kata Sasmito.

 

 

Dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk semua pihak dapat memahami konsep kebebasan pers. Angka pemukulan jurnalis yang terus naik, terutama oleh polisi, menjadi salah satu indikatornya. Di tahun 2020 sendiri, 52 dari 81 pelaku kekerasan dan pembatasan kerja jurnalis adalah aparat kepolisian. Pengacara publik LBH Pers, Ahmad Fathanah, mengatakan bahwa tidak semua pihak kepolisian paham tentang Undang-Undang Pers. Salah satunya ketika ada laporan tindak kekerasan atau penghalang-halangan kerja jurnalis. 

“Bahkan ada yang pada saat kita melakukan pelaporan, (responnya polisi) oh, ada ya pasal 18 ayat 1 terkait tindak pidana?” kata Ahmad.

Setelah pelaku terbanyak kekerasan dan pembatasan kerja jurnalis ditempati oleh aparat kepolisian, urutan kedua ditempati oleh kategori pelaku warga atau masyarakat. Menurut data AJI, setidaknya ada 154 pelaku kekerasan dan pembatasan kerja jurnalis oleh warga selama satu dekade terakhir.

 

Sasmito tidak mengelak fakta lapangan banyaknya pelaku masyarakat ini. Menurut Sasmito, dewasa ini kasus kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya disebabkan karena pelaku ingin menutupi kejahatannya, tetapi juga dipicu oleh persoalan etika bekerja dari jurnalis itu sendiri. 

Ketua AJI Kota Yogyakarta, Shinta Maharani, mengatakan bahwa tidak sedikit jurnalis yang memang menyalahgunakan profesinya. “Secara tidak langsung, ini merusak kredibilitas,” ujar Shinta. 

Bahwasanya konsep kebebasan pers tidak hanya perlu dipahami aparat dan instansi pemerintahan, tetapi juga jurnalis itu sendiri dan juga masyarakat luas. Sasmito menyebut, masyarakat luas juga perlu diedukasi bahwa mereka punya hak untuk melaporkan jurnalis jika merasa dirugikan.

“Warga kalau merasa dirugikan oleh pemberitaan media, itu punya hak untuk melapor atau meminta hak koreksi lewat laporan ke Dewan Pers,” kata Sasmito.

Dalam kasus jurnalis Tempo Nurhadi misalnya [baca “Berani Bicara, Kuatkan Sabuk Pengaman!”]. Sebelum Nurhadi dianiaya, Nurhadi sempat akan dibawa ke Polres Tanjung Perak. Namun belum sampai Polres, Nurhadi dibawa kembali ke gedung dan dianiaya. 

“(Nurhadi) ditaruh di Polres saja, sudah cukup sebenarnya. Sudah ga usah diapa-apakan. Taruh saja di Polres,” kata kuasa hukum Nurhadi, Salawati Taher, menanggapi sanggahan para pelaku yang mempermasalahkan etika penyusupan Nurhadi ke pesta pernikahan.

Andreas Harsono menambahkan bahwa motivasi kekerasan terhadap jurnalis bisa jadi memang beragam. Namun yang pasti, menurutnya memukul jurnalis adalah salah.

“Tidak harus memukul wartawan. Laporkan wartawan ke polisi saja, itu pasti masuk kok wartawannya. Begitu banyaknya hukum-hukum yang bisa menjerat wartawan. Ngapain harus dipukul?” ujar Andreas. “Walaupun saya ga setuju dengan pasal-pasal yang bisa mengkriminalkan wartawan,” lanjutnya.

Seperti yang dikatakan Andreas, peraturan-peraturan baru yang berpotensi membelenggu jurnalis bermunculan. Sasmito Madrim menyebut mulai dari Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tentang penghinaan terhadap penguasa atau lembaga negara. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) nomor 5 tahun 2020 yang berpotensi membatasi peliputan dalam pengadilan. Surat Telegram Kapolri ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021 yang salah satu poinnya melarang media menyiarkan arogansi dan kekerasan aparat, yang kemudian surat ini dicabut per 6 April 2021 oleh Polri. Dan yang menjadi polemik beberapa tahun belakangan, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), utamanya pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik, pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian, dan pasal 40 ayat 2b tentang kewenangan pemerintah memutuskan akses sistem elektronik.

Dalam tiga tahun terakhir, catatan AJI dan LBH Pers menyebut sudah ada tiga jurnalis yang dipenjara dengan pasal-pasal UU ITE. Salah satunya menimpa Diananta Putra Sumedi, mantan Pemimpin Redaksi media daring Banjarhits.com di Kalimantan Selatan. 

Panen Raya UU ITE

Panen Raya UU ITE

 

Malam itu Diananta tidur sambil duduk. Ia belum mendapat jatah tempat tidur. Setelah mandi di tengah malam, ia duduk dan tertidur. Baru ketika ada tahanan lain yang tidak kembali tidur selesai Sholat Subuh, ia memakai tempat kosong bekas tahanan itu untuk tidur. Diananta tertidur dengan alas kardus mie instan. Beruntung Diananta bisa tidur di atas kardus alih-alih langsung di ubin sel tahanan.

Sudah sebulan Diananta mendekam di Rutan Polres Kotabaru, Kalimantan Selatan. Rutan Polres Kotabaru punya enam sel, dengan kapasitas per sel menurut Diananta cukup untuk tujuh hingga 10 tahanan. Namun saat Diananta dipindahkan ke rutan ini pada 20 Mei 2020, total tahanan sel mencapai 130 orang, yang artinya per sel menampung hingga setidaknya 20 tahanan.

“Aku masuk aja, namanya lorong sel itu udah penuh orang,” ujar Diananta mengenang hari pertamanya di Rutan Polres Kotabaru.

Udara lembab dan panas sel tahanan membuat gatal-gatal Diananta semakin tidak tertahankan. Di pahanya muncul ruam-ruam akibat gigitan kutu. Entah mulai kapan serangan gatal-gatal menular dan menyebar di sel tahanan Diananta. Tahanan lain yang juga mengalami gatal-gatal mulai memakai sikat untuk menghilangkan rasa gatal mereka yang tak tertahankan. Aparat penjaga hanya memberi tahanan obat paracetamol dan menyuruh menggaruk ruam-ruam mereka sendiri.

Diananta digabungkan dengan tahanan berbagai macam latar belakang kriminal, dari narkotika hingga pelaku pelecehan seksual. Diananta sendiri dijuluki ‘Tapol’ atau ‘Tahanan Politik’ oleh penjaga tahanan, sebuah label yang banyak digunakan di masa Orde Lama dan Orde Baru untuk para pemberontak rezim.

Diananta_crop.jpg

Nama lengkapnya Diananta Putra Sumedi. Akrab dipanggil Diananta atau Nanta. Diananta lahir tahun 1983 di Surabaya. Ia kemudian pindah dan mengontrak rumah di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dan melanjutkan karir jurnalisnya di sana. Diananta adalah kontributor Tempo sejak tahun 2011 dan merangkap sebagai pendiri media daring Banjarhits.com. Pada 8 November 2019, ia mempublikasikan artikel hasil liputannya berjudul

Wawancara daring dengan Diananta

Putra (17/11/2021) | foto/Pradinia

 

 

"Lahan Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel" di portal Banjarhits.id, media yang Diananta dirikan sebagai bagian dari program ‘1001 Startup Media Online’ oleh media daring Kumparan. Ia keluar dari Banjarhits.id di pertengahan tahun 2020 dan mendirikan media baru Banjarhits.com.

Akibat artikel yang mengangkat sengketa lahan sawit antara warga Desa Cantung Kiri Hilir dengan PT Jhonlin Agro Jaya itu, Diananta dilaporkan ke Polda Kalimantan Selatan pada 14 November 2019. Diananta dituduh melanggar pasal 45 ayat 2 UU ITE tentang menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan antar suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). 

Setelah tiga kali pemanggilan untuk memberikan kesaksian, pada 4 Mei 2020, Diananta ditetapkan menjadi tersangka dan langsung ditahan di Polda Kalimantan Selatan. Diananta ditahan seiring berlangsungnya proses hukum kasusnya di kejaksaan dan pengadilan. Hingga pada 20 Mei 2020, ia dipindahkan ke Rutan Polres Kotabaru karena pelimpahan kasusnya ke Pengadilan Negeri (PN) Kotabaru di Pulau Laut, Kalimantan Selatan.

Rambut Diananta digundul tidak lama setelah ia pindah ke Kotabaru. Aturan lapas katanya. Ia menangis. Bukan hanya karena rambut yang ia sudah panjangkan hingga sepinggang itu hilang seketika. Namun untuk pertama kalinya, ia merasakan tidak punya kekuatan apa-apa untuk membela apa yang jadi haknya.

“Aku merasa ga punya daya lagi. Sekuat apapun orang itu, kalau sudah di penjara, itu sudah ga bisa apa-apa. Mau melawan, ga bisa kita. Aku juga teringat orangtua. Aku belum bisa membahagiakan orangtua, kok sudah kejadian seperti ini,” kata Diananta.

Perjalanan darat Banjarmasin ke Kotabaru, ditambah saat menyeberang ke Pulau Laut bisa memakan waktu hingga delapan jam. Setiap minggu istri Diananta, Wahyu Widianingsih, datang membesuk Diananta. Kadang sang istri membawakan buku untuk membakar kebosanan Diananta selama di tahanan. Diananta juga kadang menulis buku catatan harian. 

Lewat istrinya, Diananta baru tahu bahwa kasusnya penahanannya ini mendapat banyak simpati dan dukungan dari banyak orang. Sebuah petisi di portal change.org bertajuk "Bebaskan Nanta #StopPidanakanJurnalis" yang dibuat oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) berhasil mengumpulkan lebih dari 42.000 tanda tangan.

 

10 Agustus 2020. Pengadilan Negeri Kotabaru. Kalimantan Selatan.

 

Sudah tiga bulan Diananta dipenjara. Hari ini adalah penentuan, apakah ia akan ditahan lebih lama atau akan divonis bebas. Diananta menerka, ia akan bebas. Setelah pengadilan, ia tidak akan naik mobil jaksa lagi untuk kembali ke sel tahanan di Polres. Seorang anggota pemerintah daerah beberapa minggu sebelumnya datang mengunjungi Diananta di penjara. Ia meminta Diananta untuk mengakui kesalahan supaya bisa bebas. Diananta pun mengikuti perkataan anggota Pemda ini.

Palu diketuk. Diananta tidak menduga bahwa ia tetap divonis bersalah. Diananta dihukum 3 bulan 15 hari penjara, terhitung sejak ia ditahan awal Mei 2021. Artinya, ia baru akan bebas sembilan hari lagi. Diananta menyebutnya sebagai hukuman yang tanggung.

“Vonisnya itu kan nanggung. Aku diputus bebas enggak, tapi gimana Diananta ga lama ini bebas? Jadi tetap divonis bersalah, tapi ga lama lagi Diananta bebas. Aku berasumsi ini win-win solution. Banyak kawan-kawan yang bilang vonisnya ini vonis banci,” kata Diananta.

Awalnya, pengacara Diananta, Bujino Adrianus Salan, juga yakin bahwa Diananta akan divonis bebas. Namun berkaca dari putusan bersalah ini, ia sadar ada faktor tidak terlihat yang sangat kuat dalam kasus pemenjaraan Diananta. Bujino menyebutnya sebagai faktor X.

“Faktor X ini karena yang diserang Diananta ini kan pengusaha terkenal di Kalimantan Selatan. Diananta berhadapan langsung dengan Haji Isam,” sebut Bujino.

Haji Isam atau Andi Syamsudin Arsyad adalah pemilik perusahaan besar di Kalimantan, PT Jhonlin Group.

Sehari setelah Diananta ditahan, Bujino menunjukkan Diananta foto sosok orang sedang menerima dana Corporate Social Responsibility (CSR) sebesar 800 juta dari Haji Isam. Sosok penerima CSR itu adalah Sukirman, Ketua Umum Majelis Kaharingan Indonesia. Sukirman adalah narasumber yang diwawancarai Diananta untuk artikel sengketa lahannya, sekaligus sosok yang melaporkan Diananta ke Polda Kalimantan Selatan. Penerimaan dana ini juga tertuang dalam dokumen putusan 123/Pid.Sus/2020/PN.Ktb.

Kejanggalan lain dalam kasus Diananta adalah pemutusan mendadak kerja sama antara Kumparan dengan media yang didirikan Diananta, Banjarhits.id. 

Dalam nota pembelaan Diananta, ditulis bahwa Diananta tidak akan dijerat pidana jika Kumparan, sebagai entitas berbadan hukum penyelenggara program di mana Banjarhits.id didirikan, mau bertanggung jawab. Pertanggungjawaban ini diperlukan karena Banjarhits.id belum berbentuk entitas media berbadan hukum dan masih dalam program kerja sama dengan Kumparan.

 

“Perwakilan Kumparan sepakat, ‘Kami siap bertanggung jawab atas produk yang ditulis Banjarhits.id.’. Karena Kumparan siap bertanggung jawab sebagai payung hukum, bergulirlah mediasi itu hingga keluar PPR,” ujar Diananta mengingat proses mediasi pada Januari 2020 antara Dewan Pers, Kumparan, dan dirinya.

Dewan Pers kemudian mengeluarkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) nomor 4/PPR-DP/II/2020, berisi penilaian bahwa tulisan Diananta telah melanggar Kode Etik Jurnalistik pasal 1, 3, dan 8 karena ada kutipan pernyataan narasumber dengan tidak sesuai, tidak berimbang, memuat opini yang menghakimi dan mengandung prasangka atas dasar perbedaan suku (SARA). Dalam PPR, juga disebut bahwa Kumparan adalah penanggung jawab atas pemuatan berita yang diadukan. Dewan Pers merekomendasikan untuk Diananta memberikan hak jawab pada pihak pelapor. 

Selang beberapa hari, Diananta mendapat kabar bahwa Polda Kalimantan Selatan mendatangi kantor Kumparan. Entah apa yang dibicarakan, berkas-berkas kerja sama Banjarhits.id dengan Kumparan diambil. Besoknya, pihak Kumparan mengatakan tidak bisa melanjutkan kerjasama dengan Banjarhits.id. Dengan angkat kakinya Kumparan, kasus Diananta yang seharusnya selesai dengan menjalankan rekomendasi Dewan Pers, dilanjutkan menjadi perkara pidana oleh Polda Kalimantan Selatan.

“Banyak sekali kasus pemberitaan media itu, sebenarnya kasus pelanggaran etika. Mereka tidak melakukan kesalahan yang layak dikriminalisasi. Pelanggaran etika itu sanksinya apa? Ya sanksi etik tentu saja. Misalnya, kalau salah salah menulis, ya mereka harus minta maaf Kalau memungkinkan juga didenda. Tapi denda yang masuk akal,” kata Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Dewan Pers, Ahmad Eljeha Djauhar, merespon beberapa kasus pemidanaan jurnalis, termasuk kasus Diananta.

Selang satu tahun kasus, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, menyebut bahwa Diananta memang tidak layak untuk dipidana. Setelah dikaji, Poengky mengakui bahwa beberapa pasal UU ITE memang perlu untuk direvisi, terutama pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik dan pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian.

“Memang benar adalah hak penyidik berdasarkan kewenangan subyektif dan obyektif untuk menahan. Tapi saya kira kalau melihat urgensinya, penahanan-penahanan itu tidak diperlukan. Dan bahkan kasus-kasus ini (UU ITE) kalau dikaji dari perspektif-perspektif yang lain-lain, maka saya rasa nggak perlu untuk dilanjutkan,” jelas Poengky dalam diskusi peluncuran buku dan microsite ‘Kumpulan Cerita Korban UU ITE’. 

SAFEnet mencatat, setidaknya ada 84 kasus pemidanaan masyarakat, termasuk jurnalis, dengan menggunakan UU ITE sepanjang tahun 2020. 

“Jika UU ITE ini dengan segala multitafsirnya akan terus hadir di kehidupan publik Indonesia, saya yakin sampai kapanpun Indeks Kebebasan Pers Indonesia itu tidak akan naik kelasnya dari kisaran 100,” sebut pengamat jurnalisme FISIPOL UGM, Gilang Desti Parahita, dalam diskusi AJI untuk memeringati Hari Kebebasan Pers Internasional Mei 2021 lalu.

Indonesia pada 2021 menempati urutan ke-113 dari 180 negara untuk Indeks Kebebasan Pers oleh lembaga internasional Reporters Without Borders. Ranking Indonesia hanya selisih sembilan ranking dengan Afghanistan, yang berdasarkan Reporters Without Borders termasuk dalam lima negara paling berbahaya bagi jurnalis untuk meliput di tahun 2020.

 

 

Sebagai jajaran penerima laporan kasus, kepolisian sudah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Dewan Pers tahun 2017 lalu. Nota kesepahaman ini mengatur koordinasi antara Polri dengan Dewan Pers jika ada kasus yang melibatkan insan pers. 

Ahmad Eljeha Djauhar memberi contoh kasus Diananta. Pada pasal 5 nota kesepahaman, seharusnya kepolisian melakukan koordinasi dengan Dewan Pers terkait penentuan apakah tindakan Diananta termasuk tindak pidana atau pelanggaran Kode Etik Jurnalistik. Setelah menyatakan bahwa yang dilakukan Diananta pelanggaran etik dan rekomendasi dari Dewan Pers turun, kepolisian seharusnya tidak perlu melanjutkan kasus karena kasus Diananta sudah ditangani oleh Dewan Pers. Namun, kasus terus bergulir hingga berujung pada penahanan.

Dewan Pers menyayangkan tindakan kepolisian ini. Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Hubungan Masyarakat (Kabagpenum Divhumas) Polri, Ahmad Ramadhan, beralasan bahwa menjadi tantangan untuk meneruskan pemahaman nota ini ke jajaran kepolisian paling bawah karena jumlah anggota kepolisian se-Indonesia yang sangat banyak. 

“Kami prinsipnya akan memantau dan memonitor kasus-kasus yang menjadikan rekan-rekan jurnalis menjadi korban,” kata Ahmad Ramadhan dalam diskusi AJI untuk memeringati Hari Kebebasan Pers Internasional.

DUNGEON REVISI.png
DEMENTOR REVISI.png

ilustrasi/Carissa

 

 

Dalam diskusi peluncuran buku dan microsite ‘Kumpulan Cerita Korban UU ITE’, CEO Tempo Digital, Wahyu Dhyatmika, mengatakan bahwa kasus pemenjaraan Diananta adalah pukulan keras bagi mereka yang merasa kebebasan pers di Indonesia sudah permanen.

“Saya ingin menekankan untuk jurnalis-jurnalis yang selama ini merasa UU Pers 40 tahun 1999 itu adalah senjata pamungkas yang paling powerful yang bisa melindungi kebebasan pers. Pendapat itu nyatanya terpatahkan dalam kasus Nanta (Diananta),” ujar Wahyu.

“(UU ITE) berisiko memundurkan jam sejarah ketika tidak ada kebebasan pers,” lanjutnya merespon pasal UU ITE yang akan lebih banyak menjerat masyarakat, termasuk jurnalis, jika tidak segera direvisi.

 

 

 

“Bagi saya, profesi wartawan sudah tidak ada jaminan kebebasan pers,” 

Diananta berkata setelah menarik nafas berat pasca menangis. Sudah setahun berlalu. Pundaknya bergetar ketika mengenang kejadian yang menimpa dirinya tahun 2020 lalu. Kolom komentar diskusi peluncuran buku dan microsite ‘Kumpulan Cerita Korban UU ITE’ siang itu dipenuhi kata-kata penyemangat untuk Diananta. 

Pada 22 September 2021, mantan Dirjen Pajak Kementerian Keuangan, Angin Prayitno Aji, menjadi terdakwa atas kasus suap pajak, yang salah satunya dilakukan PT Jhonlin Baratama, anak perusahaan PT Jhonlin Group. Pada bulan Maret sebelumnya, jurnalis Tempo Nurhadi dianiaya ketika akan mewawancarai Angin di Surabaya soal kasus suapnya. Saat ditanya apakah Diananta berencana untuk mewawancarai Haji Isam dan menulis terkait kasus pajak perusahaan PT Jhonlin Baratama ini, ia menjawab enggan untuk sementara waktu.

“Aku sempat dimintai Tempo juga, untuk meng-cover berita itu ke Batulicin (rumah Haji Isam). Tapi aku bilang ke redaksi Tempo, aku ga bisa. Kalau perkara ini menyangkut Jhonlin, aku mohon maaf ga bisa bantu. Pemenjaraan ini memiliki chilling effect, efek yang mengerikan,” ujar Diananta.

Andreas Harsono, yang sekarang menjadi peneliti senior untuk lembaga advokasi dan penelitian internasional Human Rights Watch, mengatakan bahwa ada dampak jangka panjang jika pemidanaan dan kekerasan terhadap jurnalis terus dibiarkan. 

“Mutu demokrasi kita akan terpengaruh. Semakin melorot. Kalau wartawannya ketakutan, makin tidak bermutu juga demokrasi kita,” ujar Andreas.

...

Mereka tidak melakukan kesalahan yang layak dikriminalisasi.

"

Bagian

bottom of page