top of page

Merawat Jembatan Suara Hati

Orang Papua

#unfree_journalist

Kondisi kebebasan pers di Papua | ilustrasi/Carissa

“Kami selalu berpikir bahwa tidak ada orang lain yang akan tulis selain kami sendiri. Kalaupun orang lain tulis, tidak akan sampai pada inti persoalan. Jadi kami sendiri yang tulis dan kami sudah tahu konsekuensi apapun.” - Arnold Belau

 

 

1

Arnold Belau baru saja sampai di kantor redaksinya di Jayapura ketika dihubungi secara daring. Arnold naik penerbangan pagi seusai urusannya di Jakarta selama lima hari. Kali ini, ia ke Jakarta bukan untuk urusan sebagai jurnalis.

“Saya ke Jakarta untuk minta audiensi dengan DPR RI sama DPD soal dua kebijakan negara. Tentang Blok Wabu, dan soal pengarahan pasukan militer non organik yang dikirim setiap tahun ke Papua yang tidak pernah selesaikan persoalan Papua,” kata Arnold.

Arnold Belau adalah Pemimpin Redaksi media Suara Papua sejak 2016, menggantikan Oktavianus Pogau (Alm.) yang mendirikan dan memimpin Suara Papua sejak 2011. Pada 2011 pula, karir Arnold sebagai jurnalis dimulai. 

Terakhir kali Arnold ke Jakarta adalah pada awal 2017. Saat itu Arnold terbang ke Jakarta akibat gangguan yang dilancarkan ke media yang ia pimpin. Dari bulan Januari sampai Mei di Jakarta, Arnold melakukan audiensi dan protes karena serangan masif bot yang membuat sibuk server situs Suara Papua hingga situs tidak bisa diakses selama beberapa bulan.

 

 

 

Siang itu Arnold mengenang momen tahun 2016 ketika ia harus terbang kembali ke tanah Papua, meninggalkan studi masternya di Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah. Kala itu Arnold sudah memasuki semester tiga. Namun jurnalis asli Papua ini lebih memilih pulang untuk mengusut kasus pemblokiran Suara Papua. 

...

FOTO CI LEONI_ARNOLD2.jpg

Wawancara daring dengan Arnold Belau (30/06/2021) | foto/Pradinia

 

Sebelum serangan bot di awal 2017, terlebih dahulu pada akhir 2016, situs Suara Papua diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) bersamaan dengan 14 situs lain secara nasional. Dalam keterangannya, Kominfo mengkategorikan 14 situs ini sebagai situs negatif bermuatan SARA, penyebar hoaks, terorisme, pornografi, dan judi. “Jadi Suara Papua ini dikategorikan ke situ,” tawa Arnold pahit.

Sejak saat itu, Arnold harus bolak-balik Jakarta-Papua untuk melakukan advokasi. Selama kurang lebih satu bulan sejak situs Suara Papua tidak bisa diakses, Arnold dibantu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers melakukan pelaporan ke Dewan Pers, termasuk juga meminta penjelasan dari satu-satunya provider internet di Papua, PT Telkom Indonesia. 

Hingga pada akhir bulan Desember 2016, Arnold menerima telepon bahwa Menteri Kominfo saat itu, Rudiantara, mengambil kebijakan untuk membuka pemblokiran situs Suara Papua. Namun hingga pemblokiran dibuka, Kominfo tidak memberikan penjelasan terkait alasan pemblokiran dan konten apa yang dipermasalahkan Kominfo dari Suara Papua. Menurut Arnold, pembukaan kembali situs Suara Papua ini tidak memberikan jawaban yang diinginkannya.

“Permasalahannya kan tidak berhenti di situ. Ini ada faktor keterlibatan negara secara resmi dalam upaya memblokir,” kata Arnold “Pemblokiran ini kan setelah ada media daring baru terkenal. Tapi kalau dulu namanya ‘pembredelan’. Pembredelan ini yang saat itu kita alami,” lanjutnya.

Masih di tahun 2016, Arnold harus menjemput jurnalisnya, Ardi Bayage, yang ditangkap, dipukul, dan diinterogasi di Mako Brimob Kotaraja, Jayapura. Pada 2 Mei 2016, Ardi sedang meliput aksi demo Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang mendukung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dalam penyelenggaraan pertemuan forum pimpinan Melanesian Spearhead Group (MSG) di Papua Nugini. 

ULMWP adalah gerakan yang dibentuk tahun 2014 dan merupakan gabungan tiga organisasi di Papua Barat, yaitu Federal Republic of West Papua, West Papua National Coalition for Liberation, dan National Parliament of West Papua. Gerakan ini memiliki tujuan untuk memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri dan sebagai salah satu bentuk keseriusan ULMWP untuk mendapat dukungan internasional, khususnya dari negara-negara di kawasan MSG. MSG sendiri terdiri dari lima negara Melanesia, yaitu Vanuatu, Kepulauan Solomon, Fiji, Papua Nugini, dan Kaledonia Baru.

Dalam sejarah, Papua Barat diperebutkan pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda hingga pada 1962 turun perjanjian New York. Salah satu isi perjanjian ini adalah pengadaan PEPERA atau Penentuan Pendapat Rakyat di tahun 1969. PEPERA adalah referendum yang melibatkan 1.025 Dewan Musyawarah Papua, untuk memilih apakah masyarakat Papua Barat ingin merdeka atau menjadi bagian dari Indonesia. Hasil PEPERA mengantar Papua Barat untuk menjadi bagian dari Indonesia hingga sekarang.

ULMWP menolak hasil PEPERA dan meyakini bahwa ada kecurangan dalam pelaksanaan PEPERA di tahun 1969 yang tidak dilaksanakan dengan adil. Ketua West Papua Liberation Organization (WLPO), John Anari, dalam risetnya menulis, Dewan Musyawarah Papua saat itu memilih dengan suasana intimidasi dan ancaman pembunuhan. Mereka dikumpulkan dalam kamp penampungan khusus dan diintimidasi. Beberapa tahun sebelum PEPERA, pemerintah Indonesia juga melakukan tindakan represif di Papua Barat untuk melawan dan menuntut hukuman mati bagi siapapun yang melakukan kampanye tentang hak warga Papua. Sejarah kekerasan dan ketidakadilan dalam referendum inilah yang menjadi penggerak ULMWP dan gerakan separatis lain di Papua Barat. 

Menurut catatan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), demo di beberapa kota pada 2 Mei 2016 ini berujung pada penangkapan 1.696 orang oleh aparat. Angka ini hanya untuk wilayah Jayapura, belum termasuk kota lain. Massa kemudian ditahan di lapangan Mako Brimob Kotaraja Jayapura. Jurnalis Suara Papua, Ardi Bayage, termasuk dalam salah satu yang ditangkap. Ardi ditangkap meskipun ia sudah menunjukkan kartu persnya dan menyatakan diri bahwa ia adalah jurnalis, bukan peserta aksi.

1.png

Suasana demo KNPB di Abepura (09.30 WIT).

2.png

Massa aksi diperintahkan untuk naik ke truk Brimob. Ardi baru saja datang ke lokasi dan segera mengambil foto.

3.png

Ardi kemudian ditarik oleh polisi. Ia dibawa ke Polsek Abepura walaupun sudah menunjukkan identitas persnya. Ponsel Ardi dibanting.

4.png

Ardi ditempatkan di sel tahanan bersama tujuh orang lain.

5.png

30 menit kemudian Ardi dibawa ke Mako Brimob Kotaraja.

6.png

Suasana lapangan Mako Brimob penuh massa aksi yang ditangkap.

7.png

Ardi dibawa ke lapangan lain dan disuruh membuka bajunya.

8.png

Ardi diinterogasi, pipi kanannya dipukul hingga tiga kali.

9.png

Ardi kemudian dibawa ke pinggir lapangan, didudukkan, dan disuruh menelepon pemimpin redaksinya, Arnold Belau. Ponselnya yang sudah retak kemudian diperiksa dan dihapus file liputannya.

10.png

Kemudian Ardi dibawa ke ruang Intelkam dan kembali diinterogasi. Ardi dibebaskan karena tidak ada alasan penahanan. Ia dijemput oleh Arnold Belau. Ponselnya tidak dikembalikan.

 

Di tahun 2013, Arnold beserta tiga teman jurnalisnya mengalami perlakuan serupa saat meliput pembubaran paksa demo KNPB di Waena, Jayapura. Meskipun tidak sampai ditangkap, Arnold dipukul di bagian kepala dan dituduh sebagai bagian dari massa aksi. Aparat Polresta Kota Jayapura tetap menuduh Arnold dan jurnalis lain meskipun mereka sudah menunjukkan identitas persnya. Peristiwa intimidasi ini kemudian dilaporkan ke Polresta Kota Jayapura, tetapi kasus tidak ditindaklanjuti.

“Polisi dan tentara yang sering ada di lapangan saat pengamanan demo, ketika lihat seorang wartawan Papua berdiri, itu pandangan mereka bukan sebagai wartawan, tetapi mereka tetap melihat kami sebagai pendemo dan perusuh. Jadi diskriminasi terjadi di situ,” ujar Arnold menanggapi pola intimidasi terhadap jurnalis di Papua oleh aparat saat demo.

Kekerasan Jurnalis Papua 2010-2020 copy_edited2.jpg

Menurut data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), setidaknya selama satu dekade terakhir, terdapat 45 kasus kekerasan dan pembatasan kerja yang terjadi di Papua dan Papua Barat. Bentuk kekerasan fisik mendominasi sebanyak 16 kasus. Dan kasus paling banyak terjadi di Kabupaten Jayapura dengan total 12 kasus. 

 

Di luar demo, Arnold menyebut setidaknya topik Otonomi Khusus (Otsus), HAM, dan Hak Menentukan Nasib Sendiri, adalah topik yang sensitif untuk diangkat jurnalis di Papua. Victor Mambor, Pemimpin Redaksi Tabloid Jubi, mengatakan dalam salah satu diskusi bahwa tidak banyak media yang paham dan berani untuk mengekspos isu HAM dan kekerasan terhadap orang asli Papua.

Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, dalam diskusi AJI untuk memeringati Hari Kebebasan Pers Internasional menyoroti fakta bahwa mayoritas media, baik lokal maupun nasional, seringkali hanya mengutip pernyataan aparat resmi alih-alih masyarakat asli Papua. 

“Kami merasa jurnalisme yang ada di Papua belum cover both side sepenuhnya. Lebih melihat satu sumber, misalnya ada kekerasan, kemudian media lebih sering mengutip dari kepolisian maupun dari militer,” kata Beka.

“Tidak pernah kemudian mencoba menyeimbangkan dengan cara meminta pendapat dari masyarakat atau misalnya tokoh agama yang mengetahui kejadian itu supaya publik juga tahu dan bisa menyeimbangkan informasi yang ada,” lanjutnya.

Ketika kemudian ada jurnalis yang berani menyorot Hak Penentuan Nasib Sendiri masyarakat Papua, Arnold mengatakan akan erat dikait-kaitkan sebagai pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).

“Wartawan memberikan semua ruang, termasuk kepada TNI/Polri, pemerintahan, termasuk masyarakat Papua sendiri, dan orang-orang yang mereka sebut sebagai teroris dan OPM,” ujar Arnold merespon label-label separatisme yang disematkan ke dirinya.

Seperti pada awal 2021, Arnold dilabeli sebagai provokator masyarakat asli Papua.

Pada Februari 2021, aparat TNI membuat dan mempublikasikan video yang disebut Arnold sebagai video ancaman, berisi rekaman suara telepon antara aparat dengan anggota DPRD Intan Jaya, Benyamin Weya. Aparat TNI meminta klarifikasi pernyataan Benyamin Weya, yang sebelumnya diwawancarai oleh Suara Papua terkait pengungsian masyarakat Kampung Ndugusiga akibat baku tembak antara TPNPB dengan aparat TNI-Polri. Suara Papua mengutip Benyamin Weya yang mengatakan bahwa TNI-Polri akan melakukan operasi dan akan menembak masyarakat jika tidak segera mengungsi dari Kampung Ndugusiga. 

“Memang, karena ketidakjelasan anggota (aparat) organik atau non organik, kami tidak sempat langsung konfirmasi (aparat). Setelah beritanya terbit, si DPRD-nya dicari, termasuk juga wartawan saya dicari,” kata Arnold.

Setelah Suara Papua mengonfirmasi ulang ke Benyamin Weya, memang ada beberapa pernyataan yang kemudian tidak sesuai antara berita yang diterbitkan Suara Papua dengan pernyataan klarifikasi Benyamin Weya. Sehingga kemudian Suara Papua sesuai etika jurnalistik membuat ralat pemberitaan mereka.

Arnold menemukan video ancaman itu dua hari setelah Suara Papua melakukan ralat. Dalam video, aparat menyebut berita yang ditulis Suara Papua itu sebagai hoaks. Video juga menyertakan foto Arnold Belau, Victor Mambor, dan aktivis Veronica Koman, dengan label ‘Bandar Hoaks’, ‘Kelompok Tipu-Tipu’, dan ‘Provokator O.A.P (Orang Asli Papua)’. 

“Kayak gini Suara Papua nih. Semua diputarbalikan semua. Bikin susah orang.” terdengar salah satu ucapan aparat TNI saat menelepon Benyamin Weya.

 

 

 

Andreas Harsono pertama kali terbang ke Papua di tahun 1996. Ia ditugaskan kantor berita Associated Press untuk meliput penyanderaan 16 Ahli Biologi oleh OPM di Mapenduma, Kabupaten Nduga. Ia meliput seperti biasa selama sebulan, mewawancarai tentara, pastur setempat, tetapi tidak dengan gerilyawan OPM. 

“Tetapi waktu itu saya merasa, ada banyak hal yang saya merasa ga ngerti dan merasa ada yang hilang. Kenapa orang-orang asli Papua ini melawan dengan demikian setia. Ini kan melawan tentara modern, mereka (orang Papua) cuma pakai panah busur, sebagian kecil senjata api. Kebanyakan kampak. Tetapi saya merasa ga mendapatkan jawaban. Jadi karena posisi saya sebagai orang Indonesia, ada semacam tabir yang menutupi mata saya,” kata Andreas.

Andreas memutuskan kembali ke tanah Papua pada 2006. Ia menetap di tiga kabupaten kota, Merauke, Biak, dan Jayapura untuk penulisan bukunya ‘Race, Islam, and Power’. Kali ini, Andreas baru memahami bahwa apa yang ia selama ini baca di media massa dan pelajari di sekolah tentang Papua ternyata salah.

“Saya baru mulai tahu bahwa orang Papua itu ditipu pada integrasi pada tahun 1969. Mereka banyak sekali dibunuh, diperkosa, dirampas tanahnya, didiskriminasi,” kata Andreas.

“Ekonominya diambil, yang pedagang diambil. Yang terakhir, lingkungan mereka dirusak buat tambang, lahan sawit. Lahan satu hektar hanya dibeli dengan sebungkus rokok. Baru saya sadar bahwa mereka diperlakukan tidak adil dan mereka dipandang rasialis oleh orang-orang kayak kita ini,” lanjut Andreas.

Tahun 2015, Andreas yang sejak 2008 menjadi peneliti senior untuk lembaga advokasi dan penelitian internasional Human Rights Watch, menulis penelitian bersama Phelim Kine bertajuk ‘Sesuatu yang Disembunyikan? Pembatasan Indonesia terhadap Kebebasan Media dan Pemantauan Hak Asasi Manusia di Papua’. Penelitian itu menyebut, jika memberitakan tentang korupsi [baca kisah jurnalis Nurhadi di “Berani Bicara, Kuatkan Sabuk Pengaman!”] dan perampasan lahan [baca kisah jurnalis Diananta di “Bongkar Pasang Berangus Anjing Penjaga”] sudah berbahaya untuk jurnalis di seluruh Indonesia, ketakutan menjadi berlipat ganda untuk meliput dua topik ini di Papua. 

Andreas menyebut bahwa jurnalis di Papua cenderung menyensor diri mereka sendiri dari peliputan topik-topik sensitif, termasuk isu HAM, akibat ketakutan karena pelecehan, intimidasi, dan kekerasan oleh aparat, masyarakat, maupun TPNPB-OPM.

Ini menyebabkan jurnalis takut untuk melakukan verifikasi langsung ke pihak-pihak terkait jika ada suatu kasus atau kejadian. “Tidak ada jurnalisme yang independen di Papua,” kata Andreas.

Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers, Ahmad Eljeha Djauhar, juga menyayangkan bahwa hingga tahun 2020, wilayah Papua selalu menempati posisi paling bawah dalam Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) buatan Dewan Pers. Menurut Ahmad, pendekatan militer di Papua menjadi salah satu penyebab pers tidak bebas di Papua.

“Bagaimana kami mau menulis begini begitu, Pak? Kami harus mempertimbangkan terlalu banyak hal,” Ahmad menirukan respon lisan jurnalis di Papua saat berdiskusi dengannya.

Skor indikator kebebasan dari intervensi untuk IKP provinsi Papua tahun 2021 menjadi satu-satunya skor yang berada di bawah skor 70 dan menempati urutan paling bawah dari 34 provinsi. Artinya, ruang redaksi di wilayah Papua mendapatkan intervensi paling banyak dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. 

...

Rekaman Telepon Aparat TNI dengan narasumber Suara Papua

 

Aparat militer dan kepolisian melakukan praktik lama dengan membayar jurnalis untuk menjadi informan mereka dan menyusupkan agen mereka untuk menyamar bekerja sebagai jurnalis. Andreas Harsono menulis bahwa praktik ini dilakukan aparat untuk meminimalisir berita-berita negatif tentang situasi politik yang terbit dan mendorong berita-berita yang lebih positif tentang situasi Papua.

“Mereka ingin agar tidak ada informasi yang berbeda dengan versi mereka,” kata Arnold.

Pada Desember 2018, media Tirto.id dan Tabloid Jubi menguak setidaknya 18 situs yang dijuluki sebagai ‘media siluman’, karena situs mempublikasikan karya peliputan yang penulisnya anonim dan menggunakan wawancara dengan narasumber fiktif. Situs-situs ini menggunakan nama domain yang hampir mirip dengan media-media lokal Papua, seperti media siluman ‘tabluidjubi.online’ yang memiliki kesamaan nama dengan domain media Jubi, jubi.co.id. 

Tirto dan Jubi menyebut karakter pemberitaan 18 situs media siluman ini memiliki narasi yang mirip. Narasi yang dimaksud seperti bahwa tidak ada pelanggaran HAM di Papua, bahwa tentara dan polisi melakukan tugasnya dengan baik, dan bahwa masyarakat Papua hidup aman dan damai.

Awal 2020, media internasional Reuters mengeluarkan laporan ihwal situs media daring tentang Papua yang dibina dan didanai oleh aparat militer. Setidaknya ada belasan situs yang ditemukan Reuters, yang mengeluarkan berita-berita yang disebut Reuters sebagai propaganda pro-pemerintahan. Salah satu yang ditemukan Reuters adalah portal berita yang juga ada pada daftar temuan media siluman Tirto dan Jubi, yaitu ‘kitaorangpapuanews.com’. Situs ini didaftarkan dengan alamat Media Center Kodam Jaya, markas Komando Daerah Militer Jakarta. 

Pada Oktober 2019, Reuters menulis bahwa Facebook mengumumkan telah menghapus setidaknya 100 akun palsu Facebook dan Instagram dalam bahasa Inggris dan Indonesia, dengan keterangan bahwa ratusan akun tersebut menunjukkan ‘coordinated inauthentic behavior’ atau aktivitas palsu yang terkoordinasi. Facebook mengungkap, ratusan akun palsu ini tampak seperti akun media lokal dan organisasi advokasi, tetapi mempublikasikan kritik pergerakan pembebasan Papua Barat atau ‘Free West Papua’, dan mendukung sisi pemerintah Indonesia. 

“Akun-akun dalam jumlah yang banyak, informasinya seragam, dan disebarkan dalam waktu yang singkat. Ini membuat disinformasi terjadi di Papua,” Arnold menyebut situs-situs dan akun-akun ini membuat situasi pers di Papua semakin buruk.

Menurut Reuters, akun-akun media sosial ini mulai masif bermunculan di bulan Agustus dan September 2019, beriringan dengan aksi demo besar di bulan yang sama.

Mereka ingin agar tidak ada informasi yang berbeda dengan versi mereka.

"

Kerusuhan dan Padamnya Internet

Kerusuhan dan Padamnya Internet

22 Agustus 2019. Seberang Istana Merdeka. Jakarta Pusat.

 

Semburat cahaya jingga matahari terbenam dari arah barat menyinari kumpulan orang yang sedang berdiri di seberang Istana Merdeka. Mata mereka tertuju pada gerbang istana yang tertutup. Di depan mereka, ada barikade oranye yang dipasang aparat kepolisian. Biasanya, barikade itu berujung diduduki menjelang selesainya aksi. 

Bagi kebanyakan orang, aksi ini dikenal sebagai Aksi Kamisan. Beberapa orang juga mengenalnya sebagai Aksi Payung Hitam. Aksi ini adalah aksi diam, diadakan setiap hari Kamis sore sejak tahun 2007 dan terus berlangsung hingga sekarang, sepanjang pemerintah juga diam tanpa menjawab tuntutan keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Seiring berjalannya waktu, Aksi Kamisan juga menjadi wadah untuk menyerukan tuntutan-tuntutan permasalahan HAM lain yang muncul di era sekarang.

Aksi sore itu lebih ramai daripada biasanya. Sambil seperti biasa memegang poster, payung hitam, dan menyerukan kalimat aksi “Jangan Diam, Lawan!”, beberapa dari peserta aksi juga menggunakan topeng berwajah monyet. Aksi Kamisan ke-598 itu membawa tema ‘Solidaritas Melawan Rasisme, Diskriminasi, dan Kekerasan Terhadap Warga Papua’. 

Banyak masyarakat Papua juga turut datang ke aksi sore itu, menuntut hak-hak mereka. Ada yang membawa bendera bintang kejora. Ada yang melukis wajahnya dengan motif bintang kejora. Mereka menyerukan referendum. Referendum untuk masyarakat Papua memilih apakah tetap ingin bergabung dengan Indonesia atau memerdekakan diri. Referendum yang dilakukan tanpa kecurangan. Sebenarnya referendum masyarakat Papua sudah lama diserukan. Namun, aksi kali ini dipicu oleh kejadian rasisme yang menimpa saudara mereka beberapa hari sebelumnya. 

Pada 16 Agustus, organisasi masyarakat mengepung Asrama Mahasiswa Papua (AMP) di Surabaya dengan tuduhan bahwa mahasiswa Papua telah membuang bendera merah putih yang tertancap di asrama. Para mahasiswa mendapat lontaran rasisme ‘monyet’ dan penghinaan lainnya oleh organisasi masyarakat. Keesokan harinya, aparat kepolisian menangkap puluhan mahasiswa di AMP dan membawa mereka ke Markas Polrestabes Surabaya. Para mahasiswa kemudian dipulangkan pada 18 Agustus, sehari sebelum terjadi aksi unjuk rasa pertama di Manokwari,  Papua, yang kemudian berujung pada kerusuhan.

 

 

 

Selama kurang lebih seminggu sejak tanggal 3 September 2019, Joni Aswira dikirim media tempatnya bekerja, CNN Indonesia, untuk meliput pasca kerusuhan di Jayapura. Sebelumnya, kerusuhan terjadi di berbagai kabupaten dan kota di Papua dari pertengahan hingga akhir bulan Agustus. Selama di Jayapura, Joni dan dua anggota timnya mewawancarai warga Papua dan non Papua yang menjadi korban kerusuhan. Saat itu jalanan masih sepi. Pasar-pasar belum sepenuhnya dibuka. Orang-orang juga belum berani membuka toko mereka pasca kerusuhan.

Sore itu Joni harus menumpang di restoran Hotel Aston Jayapura. Sesekali koneksi wifi di hotel tempatnya menginap, Hotel Grand ABE, melambat, sehingga Joni harus ke hotel lain agar bisa menggunakan wifi dengan koneksi internet yang lebih cepat. Ia harus segera mengirim video rekaman hasil liputan lapangannya ke kantor CNN Indonesia di Jakarta. Setidaknya Joni menghabiskan waktu lima jam untuk mengirim video. 

Jaringan internet provider di Papua diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sejak 21 Agustus 2019, dua hari setelah aksi demo pertama terjadi di Papua. Lewat siaran pers nomor 155/HM/KOMINFO/08/2019, Kominfo memblokir sementara layanan internet dengan alasan untuk mempercepat proses pemulihan situasi keamanan dan ketertiban di Papua.

Pemblokiran ini membuat Joni dan timnya batal melakukan siaran langsung video untuk saluran televisi tempatnya bekerja.

“Harusnya dalam sehari itu kami memenuhi dua sampai tiga kali live audio visual secara langsung. Tapi ga bisa berfungsi selama di sana karena alat yang kami bawa mengandalkan jaringan GSM. Kita ga bisa naik gambar live. Akhirnya laporannya hanya via telepon biasa,” ujar Joni. 

Sekitar tiga kilometer dari hotel tempat Joni menginap, Arnold Belau sedang berada di kantor redaksinya, Suara Papua. Sudah sejak 30 Agustus Arnold memastikan jurnalisnya tidak turun untuk meliput. 

Pada demo pertama 19 Agustus, Arnold dan jurnalis lain Suara Papua turun untuk meliput aksi. Arnold menyebut, bahwa bahkan sejak tanggal 19 Agustus, ia sebenarnya sudah mulai merasakan adanya perlambatan jaringan internet. 

Pada 29 Agustus, situasi Jayapura menjadi mencekam. Penghancuran dan pembakaran terjadi di mana-mana. Salah dua yang dibakar adalah Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Gedung GraPARI Telkomsel. Toko-toko dan rumah-rumah juga dijarah dan dibakar. Situasi tegang antara orang Papua dan non Papua. Setelah berjalan sekitar 10 kilometer dari kantor redaksinya, Arnold memutuskan untuk kembali pulang.

“Dalam perjalanan pulang, teman wartawan memberi tahu mereka sempat terkena dampak. Mereka sempat dilempari batu, diusir. Tapi mereka berusaha berlindung agar tidak terkena (batu) dan tidak ada yang terluka. Tapi mereka sebut sempat dilempari batu dan dikejar,” kata Arnold.

Setelah pada awal bulan September kerusuhan mulai mereda, tanggal 23 September 2019, kerusuhan kembali pecah di Wamena. Sekelompok massa membakar sejumlah bangunan setelah dugaan adanya perkataan rasis seorang guru terhadap siswa asli Papua di Wamena, walaupun kemudian polisi membantah dugaan adanya perkataan rasis ini dan menyebutnya sebagai hoaks. Setidaknya ada 33 orang tewas dalam kerusuhan di Wamena. Di hari yang sama, bentrokan juga terjadi di Jayapura. 

Di Universitas Cenderawasih, Jayapura, mahasiswa asli Papua yang melakukan eksodus dari kota-kota lain di Indonesia untuk studi, berkumpul di auditorium Universitas Cenderawasih dan berusaha mendirikan posko solidaritas mahasiswa. Para mahasiswa yang pulang ke kampung halaman mereka karena isu rasisme yang beredar ini menuntut agar mereka bisa berkuliah di Universitas Cenderawasih.

Bentrokan antara aparat dan mahasiswa terjadi. Setidaknya tiga mahasiswa dan satu aparat TNI tewas. Tiga jurnalis masing-masing dari Suara Papua, Tabloid Jubi, dan The Jakarta Post juga diintimidasi, diusir, dan didorong keluar secara paksa saat hendak meliput pembukaan pos solidaritas eksodus mahasiswa ini. Ardi Bayage, jurnalis Suara Papua yang tahun 2016 ditangkap karena meliput aksi KNPB, adalah satu dari tiga jurnalis yang diusir saat peliputan aksi mahasiswa ini.

...

infografis_3_4x.png

Sumber data: Dewan Pers, AJI, Jubi, Suara Papua

2021 | Leoni

 

 

Situasi yang mencekam, ditambah dengan putusnya internet, membuat Arnold tidak bisa mengetahui informasi terdekat dari tempat tinggalnya sekalipun. Arnold hanya bisa mengandalkan rilis dari Polda ataupun Kodam. Verifikasi narasumber lain dan koordinasi jadi terhambat karena komunikasi hanya bisa melalui telepon dan SMS. 

“Ketika jaringan sudah sedikit bagus, masih bisa upload berita. Tidak dari kantor, tapi dari tempat yang ada Indihome atau wifi. Tapi setelahnya, ini tidak bisa (unggah berita),” kata Arnold. “Itu betul-betul sulit dan betul-betul menghambat pekerjaan,” lanjutnya.

Hampir setahun setelah kejadian, pada Juni 2020, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menyatakan bahwa pemblokiran internet pada Agustus hingga September 2019 lalu di Papua telah melanggar hukum. Pemblokiran internet ini menyalahi dasar hukum yang digunakan Kominfo dalam mengambil putusan. 

Kominfo menggunakan Pasal 40 ayat 2a dan 2b Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai dasar hukum pemblokiran internet. Dalam pasal ini, kewenangan memblokir hanya bisa dilakukan untuk informasi dengan muatan melawan hukum, bukan jaringan internet.

Selain itu, koalisi yang terdiri dari AJI Indonesia, SAFEnet, LBH Pers, YLBHI, KontraS, ELSAM, dan ICJR menggugat Presiden Joko Widodo dan Kominfo dikarenakan pemblokiran ini melanggar UU Pers nomor 40 tahun 1999 dan UU nomor 12 tahun 2005 yang mengatur kebebasan mencari, menerima, serta memberi informasi.

Pada September 2020, koalisi juga mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pasal 40 ayat 2b UU ITE. Bunyi pasal yang dimaksud adalah:

Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.

Arnold Belau melihat pasal ini pada penerapannya memiliki penafsiran yang tidak jelas. Seperti bahwa yang dimaksud pemblokiran informasi elektronik adalah per konten, bukan keseluruhan situs. Arnold mengatakan bahwa pemblokiran per konten juga berbeda dengan pemblokiran seluruh jaringan internet.

“Putusannya baru turun bulan kemarin tanggal 27 Oktober (2021), MK tidak kabulkan permohonan kami dan justru memenangkan pemerintah,” kata Arnold pahit.

...

 

 

 

“Kata ‘Merdeka’ sebenarnya bukanlah harga mati. Mereka (orang Papua) hanya ingin pemerintah pusat mendengarkan suara hati mereka yang merasa tidak ada perubahan mendasar pada nasib anak-anak Papua setelah 10 tahun Otonomi Khusus diberlakukan di Papua dan enam tahun di Papua Barat.”

Penggalan kalimat itu berasal dari jurnal penelitian ‘Menemukan Akar Masalah dan Solusi Atas Konflik Papua: Supenkah?” oleh Ikrar Nusa Bhakti dan Natalius Pigai yang diterbitkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2012. Ikrar Nusa Bhakti adalah mantan Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI yang sekarang menjadi Duta Besar Indonesia untuk Tunisia. Natalius Pigai adalah aktivis kemanusiaan sekaligus komisioner Komnas HAM periode 2012-2017.

“Kurangnya perhatian pemerintah pada bidang pendidikan, kesehatan, dan perekonomian rakyat menyebabkan rasa frustasi yang berkepanjangan pada sebagian besar rakyat Papua. Jawaban atas frustasi itu bukanlah menembaki mereka yang berdemonstrasi atau mengadakan Kongres Rakyat Papua, melainkan bagaimana kondisi-kondisi sosial ekonomi itu semakin diperhatikan.”

Arnold Belau mengatakan hal serupa. Ia menyebut bagaimana orang Papua menjadi korban atas tidak diperhatikannya pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, pendidikan, dan kesehatan. Kemudian orang Papua yang sudah menjadi korban masih harus berhadapan dengan kekuatan bersenjata.

“Yang ketiga, mereka tidak diberikan kesempatan sama sekali untuk bicara di media-media Indonesia, termasuk di Papua. Ini betul-betul ada pengabaian yang secara sistematis terjadi,” ujar Arnold.

Dari hal inilah cikal bakal Suara Papua mulai tumbuh. Arnold mengatakan, Suara Papua memberikan ruang seluas-luasnya untuk orang Papua yang terabaikan dan tidak bisa bersuara, untuk bisa meluapkan mulai dari suara hati hingga amarah mereka.

Andreas Harsono menyebut Suara Papua sebagai salah satu media lokal Papua yang berani. Saat semua informasi di Papua diarahkan menjadi satu pintu lewat TNI-Polri, dan saat mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, “Tidak ada operasi militer di Papua,”, Suara Papua memberikan ruang kepada orang Papua yang menjadi korban. 

“(Saya) tidak takut mati. Memang sudah konsekuensinya kalau bikin berita ini kalau misalnya TNI sudah merasa terganggu, ya sudah itu siap saja mau dijemput kapanpun dan mau diapakan siap saja,” kata Arnold menutup perbincangan.

(Saya) tidak takut mati.

"

Bagian

bottom of page